Langsung ke konten utama

Biru Yang Kehilangan Langitnya





Jika kita pikir baik-baik, langit erat kaitannya dengan senja, bukan? Tetapi itu hanya sesaat. Ketika menjelang malam, senja datang, Ia menghabiskan waktu bersama langit, walaupun sebentar, tapi kebersamaan mereka selalu menghiasi hari-hari orang yang menikmatinya, mereka menciptakan keindahan meski sementara, tapi banyak orang yang begitu menikmatinya. Mereka adalah langit dan senja. 

Tapi jangan pernah lupa, langit juga tak pernah lepas kaitannya dengan "biru". Semua pasti bertanya-tanya dan sebagian sudah ada yang menerka, biru itu warna, kan? Iya benar. Biru adalah warna. Ketika melihat langit, pagi, siang, sore, apa warna yang nampak jelas di atas sana? Biru, bukan? Kau harus ingat,  meski tak jarang orang mengaitkan langit dengan senja, jangan pernah lupa,  yang lebih sering bersama langit, yang lebih sering mewarnainya, adalah "biru".

Nah, sebagaimana kalimat pembukaan di atas,  saya menjelaskan sedikit tentang langit, senja, dan biru. Lalu, bagaimana dengan kisah yang akan saya ceritakan setelah ini. Cerita singkat yang tak ada yang tahu bagaimana awal dan akhirnya. Ini tentang Langit, Biru, Dan Senja. Mereka bukan seperti yang sering kau lihat setiap hari. Mereka itu nama. Nama seseorang tepatnya. Tapi tidak dengan Langit, itu hanya sebuah deskripsi yang tepat untuknya. Dia punya nama, tapi Biru dan Senja mengenalnya sebagai langit yang menjadi naungan mereka. Dan ini tentang Biru yang kehilangan langitnya. 

***

Akhirnya, setelah sekian lama, kurang lebih satu setengah tahun Biru sekolah di kampung. Biru telah lulus dari masa SMA nya. Bagaimanapun keadaannya tak ada kota lain untuk dia melanjutkan kuliahnya. Hanya kota itu, kota yang masih setia menyimpan kenangan-kenangannya dulu. Sebenarnya tak ada alasan yang benar untuk dia kembali sekolah di kampung, sekolahnya di kota sudah pasti membuat teman-temannya di kampung merasa iri. Tapi tidak dengan kehidupan Biru. Kehidupannya selama beberapa bulan terakhir menjadi hal terburuk semasa hidupnya. Dia harus kehilangan, kehilangan seseorang yang selama ini menjadi langit di hidupnya. Orang itu adalah segalanya untuk Biru. Laki-laki bernama Arfandi, laki-laki yang mengubah hidup biru menjadi lebih indah. 

Kepergian Arfandi membuatnya beberapa kali terjatuh dari impian-impiannya. Tapi sebab kepergian laki-laki itu juga, Biru mampu menemukan jati dirinya sendiri, dia menemukan impian barunya, kesenangan barunya, yaitu menulis. Memang sudah lama setelah menjalin hubungan bersama Arfandi, Biru sering menulis. Namun kini berbeda, Biru mencoba untuk bangkit, menulis kisah tak terlupakan yang pernah dialaminya bersama langitnya. Terkadang, yang Biru lakukan untuk menggapai impiannya menjadi seorang penulis itu sering kali terhambat, terhalang oleh luka di hatinya yang masih belum sembuh. Apalagi ketika di hari sabtu yang mendung beberapa tahun yang lalu, Biru dengar dari seseorang bahwa langitnya, Arfandi,  telah menemukan orang baru yang mungkin jauh lebih baik dibandingkan Biru. 

Setelah mendengar kabar itu, Biru sempat ingin menghentikan dan menghilangkan saja impiannya. Percuma katanya. Tak ada lagi yang diharapkan, langitnya sudah bersama orang lain, semenarik apapun cerita yang Ia buat, itu tidak akan membuat langitnya menyadarinya dan kembali kepada Biru. Biru akhirnya memutuskan hal yang tidak pernah Ia duga sebelumnya. Memang bukan rencananya, tapi itulah yang harus dilakukan. Menghilang. Dengan menghilang tanpa jejak dan kabar maupun selamat tinggal, mungkin itu akan membuat Arfandi menyadari betapa besar Biru mencintainya dan berharap dia akan membalas perasaan Biru selama ini. Namun itu bukan tujuan Biru pindah sekolah dan kembali ke kampung halamannya, Biru tak punya tujuan, intinya, Ia hanya ingin pergi. 

"Arfandi adalah langitku. Segalanya untukku. Itu berarti kota ini pun selalu ada hubungannya dengan dia. Untuk apa lagi aku berada di sini. Meski sudah tidak ada ikatan sama sekali, aku tetap bisa merasakan bahwa aku berada di suatu kota yang memiliki langit yang begitu indah. Dan langit itu adalah langitku, Arfandi. Aku ingin pergi. "

Kalimat itu adalah kalimat terakhir dimana Ia menyebutkan nama langitnya untuk yang ke terakhir kalinya. Dan benar,  itu yang terakhir. Setelah Biru pindah sekolah dan kembali ke kampung halamannya tanpa sepatah kata pun untuk Arfandi,  Biru tak pernah lagi menyebut namanya. 


Mau tak mau, Biru harus pergi, kembali menginjakkan kakinya ke kota itu. Dengan mengingat nama kotanya saja, banyak kenangan menghampirinya dalam satu waktu, apalagi kini, saat Biru sudah kembali menikmati suasana kota yang pernah Ia tinggalkan itu. 

Tak seperti yang Ia harapkan, jauh dari rencananya, dan sungguh bukan rencana Biru untuk menyebut nama laki-laki itu. Beberapa hari sebelum kembali ke kota, Biru selalu menyebut nama Arfandi setiap hari. Entah itu ketika Ia sedang bicara sendirian, atau ketika Ia merasa sedang berbicara dengan Arfandi,  padahal tidak. 

Di tengah kesibukannya mengurus peluncuran buku keduanya, yang Ia pikirkan saat itu hanyalah Arfandi. Harapan yang tidak dapat Ia singkirkan untuk segera bertemu Andi kembali. Biru berharap di kampus barunya, Ia akan bertemu langitnya. Setelah buku pertamanya telah terbit, Biru kembali dengan buku kedua karyanya yang akan segera diterbitkan. 

"Aku sangat ingin menemuinya. Tidak. Aku harus, harus bertemu dengannya. "

***

Sudah beberapa hari ospek di kampus. Biru menemukan banyak teman baru, juga ada sahabat lamanya selama Ia bersekolah di kota. 
Biru memandang acara terakhir ospek, menikmatinya dengan tenang. Itulah sosok Biru. 
"Biru, kami ke sana bentar, ya? " kata sahabat-sahabatnya yang ingin pergi ke kantin itu. 
"Iya. " sahut Biru. 

Biru duduk sendiri. Sangat banyak mahasiswa dan mahasiswi baru di sana. Tapi tempat disampingnya sementara kosong karena sahabat-sahabatnya pergi ke kantin. 

Biru menatap ke depan. Disana ada seorang perempuan cantik sedang bernyanyi, semuanya ikut bernanyi kecuali Biru yang cuma tersenyum menikmati alunan lagunya. Perempuan di sana terlihat sangat berkarisma dan anggun, wajahnya yang putih dan senyumnya yang manis. Biru masih tenang menikmati lagu itu sampai lagu itu akhirnya berhenti. Ia memainkan ponselnya. Sibuk sendiri. 

"Bi..ru.. Na..tasya. Biru Natasya? " tanya seorang perempuan di sampingnya. Perempuan itu mungkin melihat nama di baju Biru, itu sebabnya Ia mengeja nama Biru. 
"Hm? " sahut Biru. Perempuan itu adalah perempuan yang bernyanyi di depan tadi. Menurut Biru,  perempuan di sampingnya ini memang sangat manis, setiap laki-laki yang mendapatkannya pasti sangat beruntung. 
"Namamu Biru Natasya? " tanyanya sambil tersenyum. 
"Iya.. " Biru membalas senyumannya. 
"Panggilannya? Tasya? Atau Nata? "
"Hehe, tidak. Lebih banyak yang memanggilku Biru. " jawab Biru. 
Kemudian perempuan itu mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan dengan Biru

"Namaku Senja. Lebih lengkapnya Mutiara Senja. Dan aslinya memang itu, Mutiara Senja. "

Biru merasakan sesuatu ketika mendengar namanya. Nama perempuan itu ternyata adalah Senja. Ia merasa pernah melihat nama itu dari layar ponselnya, di whatsappnya mungkin. Tapi sayangnya Biru tak ingat itu kapan dan bagaimana yang lebih jelasnya. 

"Senja? Kenapa namamu Senja? " tanya Biru
"Entah, ibuku menamaiku. Katanya supaya aku terlihat sangat indah jika di pandang. Seperti senja yang sering orang lihat. "
"Tapi keindahan senja hanya sementara. " ucap Biru lagi. 
"Ya, tapi aku bukan senja yang itu. " kata Senja, "Aku seorang Senja. " sambungnya

Biru memilih untuk diam. Membiarkan perempuan itu membanggakan nama dan dirinya sendiri. Biru hanya masih berpikir, bahwa ada sesuatu di balik nama Senja itu.

"Oh, ya. Namaku Senja, dan langitku ada di sini, di kampus ini. " Ia berbicara lagi. Ternyata dia cukup puitis. Tidak pernah Biru duga, ada juga orang memaknai arti dari langit itu adalah seseorang yang di cintai. 

"Aku juga ada. Mungkin." 
Biru tahu, Ia akan segera menemukan langitnya di sini. Biru akan segera bertemu langitnya, Arfandi. 

"Benarkah? Siapa langitmu? "
"Rahasia"  jawab Biru. "Kalau kamu? " tanya Biru lagi. 
"Dia ada di sini. Dia adalah langit yang sangat mencintai Senja nya. "
"Aku bertanya namanya.. "
"Oh, nama? Namanya Arfandi. Dia lah langitku." jawab Senja. 

Ya, baru saja Biru ingat. Terakhir kali Ia lihat nama Senja adalah sebulan yang lalu. "Tentang langit yang sangat mencintai Senja nya. "
Kalimat itulah yang pernah Ia lihat dari status Arfandi. Langitnya. Iya, seharusnya Arfandi adalah milik Biru, bukan Senja. 

"Dia telah menjadi Langitku selama kurang lebih satu tahun. " lanjut Senja lagi. 

Biru sudah tak kuasa. Akhirnya matanya diramaikan oleh air mata. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Untuk Januari dan Februari

Kepada kalian, Januari dan Februari.  Aku tahu kalian tidak mungkin dapat mendengarku apalagi menjawab dan membalas perkataanku. Aku sadar dan semesta tahu, aku sangat bodoh, berbicara dengan bulan yang ditemani oleh 30 hari bersamanya.  Untuk Januari dan Februari.  Terima kasih untuk waktu berharga saat itu. Kala itulah, Tuhan mulai mengubah hidupku. Segala tentang sedih dan kawan-kawannya(tangis), tangis beserta sahabatnya(luka), dan rasa sakit bersama temannya(kecewa), digantikan dengan senyum, tawa dan rasa bahagia.  Kujalani dan lewati hari demi hari yang sangat berharga dan tak ternilai itu, dengan rasa yang baru saja lahir kemudian terus tumbuh dan berkembang secara pesat dan deras dengan sangat baik. Tidak tahu kenapa peta di hatiku menunjukkan bahwa arah yang benar untuk ku tuju adalah lelaki itu. "Dia". Sebab itulah aku mengikutinya, dan terus berjalan menuju kebahagiaan bersama rombongan cinta dalam makna "perasaan". Untuk Januari,...

PRASANGKA

Untuk kesekian kalinya, kamu merancangnya seperti ini lagi, semesta. Untuk kesekian kalinya, kepulangan jadi prolog, bahagia menghiasi. Perpisahan menjadi epilog, rasa sakit menghiasi. Harus, ya? Ada perpisahan lagi? Ada apa? Boleh tidak aku egois? Untuk kali ini saja, aku ingin menyingkirkan perpisahan, aku ingin bebas dari kehilangan yang begitu menakutkan. Bukan tentang menakutkannya, tapi tentang sosok yang begitu disayang. Siapa sudi kalau dia hilang? Boleh tidak aku mengambil keputusan sendiri? Aku ingin membuat cerita sendiri, mengukir berbagai macam kebahagiaan sendiri, berdua dengannya maksudku. Kamu memang selalu mencampurinya, semesta. Tapi, untuk kali ini saja, boleh tidak aku egois? Egois demi hubungan kami, demi perasaan kami, demi, menghindari perpisahan. Untuk kali ini saja, boleh tidak aku mendekapnya lebih lama, atau mungkin selamanya? Boleh tidak aku... tetap menahannya pergi dariku, boleh tidak aku memaksanya untuk tetap tinggal? Boleh, ya? ...

Senja Tanpa Langit

Langit, aku sedang menggerakkan pulpen tinta ini menggunakan tanganku, menuliskan kata per kata, kalimat demi kalimat, hingga tersusun menjadi paragraf yang tak cuma satu, dan terkumpul dalam satu buku. Buku rahasia milikku. Ini tentang dirimu, Langit. Senja, *** “Lagi ngapain sih, Langit?” tanyaku pada sosok yang berdiri tidak jauh di depanku sekarang. “Lagi mandangin senja. Lihat deh, Ja. Bagus banget.” Serunya namun agak santai. “Senja yang di langit itu, atau seorang Senja yang berada di belakangmu sekarang?” tanyaku lagi, kemudian langit membalikkan badannya mengarah padaku. “Hmm..senja yang mana, ya?” tanya Langit pada dirinya sendiri sembari menyengir. Langit yang terkenal sangat puitis ini selalu saja mengalahkanku dengan ucapan-ucapannya yang sering kali terdengar sederhana dan biasa, tetapi mampu membuat orang yang berbicara dengannya jatuh hati. Kemudian Langit tersenyum. Kini kami seperti bicara lewat jalur hati. Tanpa ada kalimat terucap, dengan bibir yang...