Langsung ke konten utama

Aku


Iya, aku di sini.
Tapi kurasa kamu memang tidak akan bisa menemukan diriku yang dulu lagi.

Iya, aku adalah aku. Yang menyayangimu.
Tapi kurasa, aku bukan lagi aku yang dulu.
Kamu tidak akan bisa menemukan sosok itu.
Sosok aku seperti satu tahun yang lalu.
Maaf, tapi jangan khawatir, karena aku akan selalu menjadi orang yang sangat menyayangimu.
Hanya saja, kamu telah kehilanganku.
Kehilangan segala tentang aku yang dulu.
Aku yang dulu dengan beraninya mendekatimu,
Aku yang dulunya punya rasa percaya diri yang sangat besar untuk menyatakan semuanya padamu,
Yang dulunya tak pernah segan mengejarmu,
Yang dulunya, selalu memberimu senyum, memberimu rasa, memberimu bahagia, dan segalanya.
Sekarang, yang bisa aku beri cuma rasa sayang.

Rasa sayang yang tersimpan, tersembunyi, terselubung dalam ruang yang masih setia kujaga, ruang hati.
Ruang hati yang dulunya pernah aku buka untukmu sepenuhnya.

Kamu mengenalku, iya.
Kamu memahamiku, iya.
Kamu menyayangiku, aku tahu itu.

Tapi aku, bukan lagi.. aku.

Aku.. yang saat itu berdiri di sampingmu pada hari karnaval.
Aku.. yang hari itu berjalan beriringan denganmu, menyembunyikan berbagai perasaan yang ingin sekali meluap.
Aku.. yang dulunya selalu dikerubungi perasaan bahagia di saat-saat aku berani memperjuangkanmu.

Iya, aku tahu, siapa aku yang dulu, dan siapa aku yang sekarang.
Aku tahu persis.

Aku yang selalu percaya diri,
Aku yang selalu ceria,
Aku yang selalu berani,
Bahkan, berani memulai,
Memulai cerita yang tak pernah disangka jalannya akan seperti ini.

intinya..
Saat itu, aku punya banyak keberanian, rasa percaya diri yang tinggi.

Aku.. menyayangimu.
Aku.. merindukanmu yang dulu.
Juga.. merindukan sosokku yang dulu tak sepengecut ini.

Yang tak bisa melakukan apa-apa,
Yang takut memulai,
Yang takut bicara,
Yang lemah,
Yang tak bisa mengungkapkan,
Bahkan bicara,
Bahkan menghubungimu lebih dulu.

Aku di sini, iya. Bersamamu.

Tapi aku, bukan lagi aku.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Untuk Januari dan Februari

Kepada kalian, Januari dan Februari.  Aku tahu kalian tidak mungkin dapat mendengarku apalagi menjawab dan membalas perkataanku. Aku sadar dan semesta tahu, aku sangat bodoh, berbicara dengan bulan yang ditemani oleh 30 hari bersamanya.  Untuk Januari dan Februari.  Terima kasih untuk waktu berharga saat itu. Kala itulah, Tuhan mulai mengubah hidupku. Segala tentang sedih dan kawan-kawannya(tangis), tangis beserta sahabatnya(luka), dan rasa sakit bersama temannya(kecewa), digantikan dengan senyum, tawa dan rasa bahagia.  Kujalani dan lewati hari demi hari yang sangat berharga dan tak ternilai itu, dengan rasa yang baru saja lahir kemudian terus tumbuh dan berkembang secara pesat dan deras dengan sangat baik. Tidak tahu kenapa peta di hatiku menunjukkan bahwa arah yang benar untuk ku tuju adalah lelaki itu. "Dia". Sebab itulah aku mengikutinya, dan terus berjalan menuju kebahagiaan bersama rombongan cinta dalam makna "perasaan". Untuk Januari,...

PRASANGKA

Untuk kesekian kalinya, kamu merancangnya seperti ini lagi, semesta. Untuk kesekian kalinya, kepulangan jadi prolog, bahagia menghiasi. Perpisahan menjadi epilog, rasa sakit menghiasi. Harus, ya? Ada perpisahan lagi? Ada apa? Boleh tidak aku egois? Untuk kali ini saja, aku ingin menyingkirkan perpisahan, aku ingin bebas dari kehilangan yang begitu menakutkan. Bukan tentang menakutkannya, tapi tentang sosok yang begitu disayang. Siapa sudi kalau dia hilang? Boleh tidak aku mengambil keputusan sendiri? Aku ingin membuat cerita sendiri, mengukir berbagai macam kebahagiaan sendiri, berdua dengannya maksudku. Kamu memang selalu mencampurinya, semesta. Tapi, untuk kali ini saja, boleh tidak aku egois? Egois demi hubungan kami, demi perasaan kami, demi, menghindari perpisahan. Untuk kali ini saja, boleh tidak aku mendekapnya lebih lama, atau mungkin selamanya? Boleh tidak aku... tetap menahannya pergi dariku, boleh tidak aku memaksanya untuk tetap tinggal? Boleh, ya? ...

Senja Tanpa Langit

Langit, aku sedang menggerakkan pulpen tinta ini menggunakan tanganku, menuliskan kata per kata, kalimat demi kalimat, hingga tersusun menjadi paragraf yang tak cuma satu, dan terkumpul dalam satu buku. Buku rahasia milikku. Ini tentang dirimu, Langit. Senja, *** “Lagi ngapain sih, Langit?” tanyaku pada sosok yang berdiri tidak jauh di depanku sekarang. “Lagi mandangin senja. Lihat deh, Ja. Bagus banget.” Serunya namun agak santai. “Senja yang di langit itu, atau seorang Senja yang berada di belakangmu sekarang?” tanyaku lagi, kemudian langit membalikkan badannya mengarah padaku. “Hmm..senja yang mana, ya?” tanya Langit pada dirinya sendiri sembari menyengir. Langit yang terkenal sangat puitis ini selalu saja mengalahkanku dengan ucapan-ucapannya yang sering kali terdengar sederhana dan biasa, tetapi mampu membuat orang yang berbicara dengannya jatuh hati. Kemudian Langit tersenyum. Kini kami seperti bicara lewat jalur hati. Tanpa ada kalimat terucap, dengan bibir yang...