Langsung ke konten utama

Senja Tanpa Langit




Langit, aku sedang menggerakkan pulpen tinta ini menggunakan tanganku, menuliskan kata per kata, kalimat demi kalimat, hingga tersusun menjadi paragraf yang tak cuma satu, dan terkumpul dalam satu buku. Buku rahasia milikku. Ini tentang dirimu, Langit.

Senja,


***

“Lagi ngapain sih, Langit?” tanyaku pada sosok yang berdiri tidak jauh di depanku sekarang.
“Lagi mandangin senja. Lihat deh, Ja. Bagus banget.” Serunya namun agak santai.
“Senja yang di langit itu, atau seorang Senja yang berada di belakangmu sekarang?” tanyaku lagi, kemudian langit membalikkan badannya mengarah padaku.
“Hmm..senja yang mana, ya?” tanya Langit pada dirinya sendiri sembari menyengir. Langit yang terkenal sangat puitis ini selalu saja mengalahkanku dengan ucapan-ucapannya yang sering kali terdengar sederhana dan biasa, tetapi mampu membuat orang yang berbicara dengannya jatuh hati.

Kemudian Langit tersenyum. Kini kami seperti bicara lewat jalur hati. Tanpa ada kalimat terucap, dengan bibir yang tertutup rapat, cuma lekuk sabit indah yang terlihat. 

“Coba ke sini, Ja.” Pintanya, aku segera mendekati Langit dan berdiri di sampingnya.
“Udah.” Kataku, “Hayoo..tadi mandanginnya, senja yang mana?” tanyaku lagi.
“Senja yang ada di atas sana. Dia sedang memandang sosok Senja keduanya yang sangat cantik di bumi ini, sedang berbicara dengan seseorang.” Jawabnya. Setelah itu aku sedikit tertawa.
“Ih, kirain kamu tadi mandangin aku!” sahutku ketus.
“Kalau Senja yang ada di sampingku sekarang, dia adalah kesukaanku.” Pandangan Langit beralih kepadaku. Aku diam. Cuma tersenyum malu.
“Oh ya, katamu aku adalah sosok Senja keduanya senja yang ada di langit itu, kenapa jadi yang kedua sih?” tanyaku penasaran.
“Ya.. menurutnya kamu adalah Senja kedua yang ada di semesta setelahnya.”
“Hm?” aku masih belum mengerti dengan perkataan Langit. Lalu Langit mendekatkan wajahnya, bibirnya berada dekat telingaku.
“Tapi menurutku kamu adalah Senja pertama dalam hidupku.” Ucapnya pelan sekali tetapi bukan berbisik.
“Iya?” tanyaku memastikan apa kalimat manis tanpa gula itu benar atau tidak.
“Bohong! Ahahahahaha..” teriak Langit kegirangan lalu berlari dariku.
“Ihhhh!!!! Awas kamu, ya!!!” teriakku seraya berlari mengejarnya.


Aku tahu langit Cuma bercanda. Kami kemudian melanjutkan canda tawa kami di dekat laut, di atas hamparan pasir di pantai ini.Langit selalu menghadirkan suasana kehangatan. Langit selalu menciptakan rasa bahagia ketika aku sedang bersamanya.
Kami suka menghabiskan waktu untuk memandangi alam. Langit sering mengajakku untuk mengunjungi tempat-tempat yang bagus untuk menatap alam setelah pulang sekolah. Nanti, setelah lulus, apakah aku masih bisa menghabiskan waktu bersama Langit? Cuma kurang dari satu tahun lagi, kami harus melanjutkan pendidikan kami ke perguruan tinggi.
Sering kali pagi atau sore hari, terutama saat senja muncul, kami menghabiskan waktu bersama.

“Kenapa sih? Langit selalu membawaku jalan-jalan untuk memandangi alam sekitar?” tanyaku.
Kami sedang dalam perjalanan, kata Langit, dia ingin membawaku ke pantai lagi. Langit cuma diam dan tidak menyahut.
“Untuk sekedar memandangi senja, ya?” tanyaku lagi.
“Nggak, kok.” Jawabnya acuh tak acuh.
“Terus?”
“Sebenarnya aku ingin membawamu kemana saja, ya.. asalkan sama kamu, Senja.”
“Ya, sudah, hari ini ke tempat lain aja. Kan, mau kemana saja?”
“Yaa... udah terlanjur langkah kita arahnya ke pantai, Ja. Iya sudah kubilang, kemana saja, yang penting sama kamu. Hehe.”
Aku cuma tersenyum malu, lagi dan lagi.



***

Beberapa hari sebelum kelulusan, banyak teman-teman Langit yang memberitahu aku bahwa Langit akan melanjutkan pendidikannya ke Universitas London. Langit masuk jurusan Sastra di sana. Langit adalah seseorang yang sangat teguh pendirian dengan mimpi-mimpinya. Aku selalu percaya padanya. Mimpi Langit adalah menjadi seorang pengarang dan penulis hebat. Dan Langit pernah bilang padaku, “Cita-citaku adalah menjadi pengarang dan penulis hebat, Ja. Aku menempuh pendidikan selama lebih dari 10 tahun demi bisa menggapai mimpi terbesarku itu. tetapi mimpi itu belum bisa menjadi kenyataan setelah kedua malaikat paling berharga dalam hidupku meninggalkanku untuk selamanya. Dan hingga kini, kamulah orang yang menemaniku untuk tetap semangat menggapai dan meraih mimpi itu selama lebih dari 10 tahun itu.”

Kalian sudah bisa menebaknya, aku bersahabat dengan Langit sudah semenjak kelas 1 SD dan masih bersama sampai sekarang. Hingga kini pun aku harus tetap menerima kenyataan bahwa hubungan kami tidak lebih dari sekedar sahabat. Cukup menjadi sahabat setia Langit sudah sangat menjadi hal paling berharga dalam hidupku. Aku tidak ingin berstatus lebih dari ini dengan Langit, karena aku menyayangi dan mencintainya, aku tidak ingin kehilangannya kalau saja nanti putus karena hubungan pacaran akan membuatku merasakan hal paling pahit dan sulit untuk ku terima itu, yakni kehilangan Langit.
Apalah arti dari hidup Senja tanpa sosok Langit.


“Senja, kamu percaya nggak? Ada sebuah cerpen yang mengisahkan tentang pertemuan dua manusia yang kemudian berpisah jauh selama bertahun-tahun, lalu bertemu lagi dengan membawa oleh-oleh paling berharga dalam hidup mereka, yaitu rasa cinta yang teramat besar sama seperti kali pertama mereka bertemu. Senja percaya?”
“Hm..iya, percaya.” Jawabku.
“Oh.. baguslah kalau percaya.”
“Ih, kirain serius ini!” 
“ahahahaha..” Langit tertawa terbahak-bahak karena telah berhasil menipuku, “Aku harap kamu paham dengan maksudku mengenai cerpen itu, Ja.” Langit tersenyum. Sangat indah. Aku berusaha menahan air mataku.
“Apa setelah ini Senja akan kehilangan Langit?” tanyaku sambil tersedu-sedu, hujan dari mataku sudah berlari-larian dan membasahi kedua pipiku.
“Tidak akan pernah, Ja.” Jawabnya. Lalu Langit memelukku.

Hening.

“Kamu tau nggak kenapa orangtuamu menamakanmu Senja?” tanya Langit masih sambil memelukku.
“Kenapa?”
“Karena Senja telah di takdirkan untuk bertemu dan menjadi milik Langit.” Aku mengangkat kepalaku, aku lihat senyumnya yang sangat-sangat indah dan akan selalu ku rindukan nanti.
“Tapi banyak yang bicara menggunakan kalimat “Senja tanpa langit”, itu artinya Langit dan Senja tetap akan berpisah?" Ucapku.
“Sama seperti langit dan senja yang di miliki semesta, perpisahan mereka apakah akan selamanya? Tidak, bukan? Mereka akan tetap bertemu setelahnya walaupun sempat berpisah.”
“Jadi?”
“Senja tidak akan pernah kehilangan Langit. Tidak ada yang namanya Senja tanpa Langit. Kita akan bertemu suatu hari nanti, Ja. Aku akan selalu merindukanmu.”
Aku kembali memeluknya. Ini hari terakhir aku bicara secara langsung dengan Langit. Entah kapan lagi aku akan bertemu dengannya.



Hingga beberapa bulan kemudian, mungkin sekitar 8 bulan setelah kepergian Langit ke London, selama waktu yang panjang itulah, aku tidak pernah sama sekali menerima pesan dari Langit, kecuali ucapan selamat tinggalnya yang terakhir di bandara pada hari kepergiannya.
Aku mendengar kabar dari teman-teman terdekat Langit, bahwa kini Langit sudah mempunyai kekasih baru bernama Bintang, sudah lebih dari 6 bulan lamanya. Dua minggu sekali Bintang pulang ke Indonesia,  dia juga kuliah di Bandung, juga di London. Dia adalah perempuan yang cerdas. Dia lebih pantas untuk Langit dibandingkan aku. Aku berteman baik dengan Bintang, sampai tak jarang Bintang bercerita tentang hubungannya dengan Langit padaku. Ah karena sudah sering mendengarnya, aku terbiasa dengan rasa sakit dan menusuk yang sering kali muncul setiap kali Bintang bercerita tentang Langit.


***


Bandung, sore ini
Aku menutup buku diary yang senantiasa menyimpan nama Langit beserta ceritanya di sini. Juga berpuluh-puluh halaman yang berisikan kenangan tentang dia yang kini telah usang di makan waktu. Aku menutup buku ini beriringan dengan harapanku yanng telah hilang. Aku berhenti berharap segalanya tentang Langit. Kecuali sedikit harapan yang tersisa, berharap Langit masih ingat dengan Senjanya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Untuk Januari dan Februari

Kepada kalian, Januari dan Februari.  Aku tahu kalian tidak mungkin dapat mendengarku apalagi menjawab dan membalas perkataanku. Aku sadar dan semesta tahu, aku sangat bodoh, berbicara dengan bulan yang ditemani oleh 30 hari bersamanya.  Untuk Januari dan Februari.  Terima kasih untuk waktu berharga saat itu. Kala itulah, Tuhan mulai mengubah hidupku. Segala tentang sedih dan kawan-kawannya(tangis), tangis beserta sahabatnya(luka), dan rasa sakit bersama temannya(kecewa), digantikan dengan senyum, tawa dan rasa bahagia.  Kujalani dan lewati hari demi hari yang sangat berharga dan tak ternilai itu, dengan rasa yang baru saja lahir kemudian terus tumbuh dan berkembang secara pesat dan deras dengan sangat baik. Tidak tahu kenapa peta di hatiku menunjukkan bahwa arah yang benar untuk ku tuju adalah lelaki itu. "Dia". Sebab itulah aku mengikutinya, dan terus berjalan menuju kebahagiaan bersama rombongan cinta dalam makna "perasaan". Untuk Januari,...

PRASANGKA

Untuk kesekian kalinya, kamu merancangnya seperti ini lagi, semesta. Untuk kesekian kalinya, kepulangan jadi prolog, bahagia menghiasi. Perpisahan menjadi epilog, rasa sakit menghiasi. Harus, ya? Ada perpisahan lagi? Ada apa? Boleh tidak aku egois? Untuk kali ini saja, aku ingin menyingkirkan perpisahan, aku ingin bebas dari kehilangan yang begitu menakutkan. Bukan tentang menakutkannya, tapi tentang sosok yang begitu disayang. Siapa sudi kalau dia hilang? Boleh tidak aku mengambil keputusan sendiri? Aku ingin membuat cerita sendiri, mengukir berbagai macam kebahagiaan sendiri, berdua dengannya maksudku. Kamu memang selalu mencampurinya, semesta. Tapi, untuk kali ini saja, boleh tidak aku egois? Egois demi hubungan kami, demi perasaan kami, demi, menghindari perpisahan. Untuk kali ini saja, boleh tidak aku mendekapnya lebih lama, atau mungkin selamanya? Boleh tidak aku... tetap menahannya pergi dariku, boleh tidak aku memaksanya untuk tetap tinggal? Boleh, ya? ...