Langsung ke konten utama

Menjemput Bahagia






Hari ke-14 di bulan Februari di tahun 2018. Di pagi hari yang masih sangat dingin itu, bahkan warna langit belum menunjukkan tanda-tanda bahwa hari sudah pagi. Tepatnya saat itu masih subuh. 



Seorang perempuan yang baru bangun dari tidurnya, segera beranjak kemudian menyiapkan segala hal, terutama dirinya. Makan seadanya dan berhias sederhana karena Ia berhias tidak sekarang, tapi nanti. 



Perempuan itu segera membuka pintu rumahnya ketika Ia rasa dirinya sudah siap untuk berangkat ke sekolah. Tapi belum, Ia masih melangkahkan kakinya dari kamarnya menuju pintu rumah. Lalu tiba di pintu, Ia kemudian membukanya. 



Ia disambut oleh langit gelap bersama sahabat-sahabatnya, awan, biru, angin. Langit tersenyum, walau tak terlihat, Ia dapat merasakan sapaan hangat sekaligus dingin dari langit dan alam raya. Semesta beserta teman-temannya siap segera membawa perempuan itu kepada kebahagiannya. 



Ia menaiki kendaaran biru miliknya, yang sudah Ia parkir berjarak kira-kira 3 meter dari depan rumah. Duduk dan tenang. Ia masih ingin bersahabat dengan semesta di pagi hari. Sangat dingin, beruntung Ia mengenakan jaket yang cukup hangat.

Ia akhirnya bersuara, dan berbicara kepada dirinya sendiri, "Aku akan segera menuju dan memeluk jutaan kebahagiaan dan perasaan cinta hari ini. Baiklah."
Dengan segenap asa, dan rasa semangat yang selalu menemaninya sejak memasuki tahun 2018, kemudian Ia pergi, untuk menjemput bahagianya. 


Hari itu adalah hari bersejarah baginya. Bahkan ketika Ia baru saja hendak membuka pintu rumah pagi tadi, kalimat itu sudah mengetuk pikiranya pagi-pagi sekali. 


"Hari ini adalah hari yang sangat bersejarah bagiku. Dan dalam hidupku. "


Tatkala Ia siap dengan rasa-rasa yang menemaninya pagi itu, ketika Ia sudah hampir sampai dan akan segera menjemput bahagianya, Ia selesai dengan berhiasnya. Kemudian perempuan yang mengenakan baju tradisional berwarna merah hati itu melangkahkan kaki menuju lorong kelasnya. 


Ia tiba, di depan pintu sambil memeluk bahagianya. 



Hari tak lagi dini hari, langit tak lagi gelap, matahari tak lagi tidur. Semuanya kembali menyapa hari Rabu tanggal 14 Februari ini.

Perempuan yang mengerucutkan dahinya karena kepanasan itu, kelihatan berdiri dengan normal, dan kaku. Kelihatan biasa saja, padahal tidak. Bagaimana bisa Ia berdiri dengan normal di samping tuannya. Sang tuan yang harus mengiringinya kebahagiaannya hari itu. Hanya orang yang berada sangat dekat dengannya kala itu yang dapat merasakan dan mungkin mendengar suara detak jantung yang perlahan melaju itu. Perempuan itu tersenyum manis. Kemudian mendapat suara dan bicara pertama dari Tuannya di pagi itu. 

"Ingat, saat kita berjalan, harus senyum, ya. "

Kemudian senyumnya semakin menjadi-jadi. Begitu pula perasaannya. 


Ia adalah seorang perempuan yang tiap hari dipeluk oleh kebahagiaan. Kebahagiaan yang selalu Ia dapatkan sejak mengenal tuannya yang manis itu. Namanya tak dapat disebutkan, pun dengan nama tuannya. Tapi tak sedikit manusia yang telah mengenal mereka di sekolahnya. Mereka berdua adalah pasangan maskot untuk hari itu dan untuk selamanya. 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Untuk Januari dan Februari

Kepada kalian, Januari dan Februari.  Aku tahu kalian tidak mungkin dapat mendengarku apalagi menjawab dan membalas perkataanku. Aku sadar dan semesta tahu, aku sangat bodoh, berbicara dengan bulan yang ditemani oleh 30 hari bersamanya.  Untuk Januari dan Februari.  Terima kasih untuk waktu berharga saat itu. Kala itulah, Tuhan mulai mengubah hidupku. Segala tentang sedih dan kawan-kawannya(tangis), tangis beserta sahabatnya(luka), dan rasa sakit bersama temannya(kecewa), digantikan dengan senyum, tawa dan rasa bahagia.  Kujalani dan lewati hari demi hari yang sangat berharga dan tak ternilai itu, dengan rasa yang baru saja lahir kemudian terus tumbuh dan berkembang secara pesat dan deras dengan sangat baik. Tidak tahu kenapa peta di hatiku menunjukkan bahwa arah yang benar untuk ku tuju adalah lelaki itu. "Dia". Sebab itulah aku mengikutinya, dan terus berjalan menuju kebahagiaan bersama rombongan cinta dalam makna "perasaan". Untuk Januari,...

PRASANGKA

Untuk kesekian kalinya, kamu merancangnya seperti ini lagi, semesta. Untuk kesekian kalinya, kepulangan jadi prolog, bahagia menghiasi. Perpisahan menjadi epilog, rasa sakit menghiasi. Harus, ya? Ada perpisahan lagi? Ada apa? Boleh tidak aku egois? Untuk kali ini saja, aku ingin menyingkirkan perpisahan, aku ingin bebas dari kehilangan yang begitu menakutkan. Bukan tentang menakutkannya, tapi tentang sosok yang begitu disayang. Siapa sudi kalau dia hilang? Boleh tidak aku mengambil keputusan sendiri? Aku ingin membuat cerita sendiri, mengukir berbagai macam kebahagiaan sendiri, berdua dengannya maksudku. Kamu memang selalu mencampurinya, semesta. Tapi, untuk kali ini saja, boleh tidak aku egois? Egois demi hubungan kami, demi perasaan kami, demi, menghindari perpisahan. Untuk kali ini saja, boleh tidak aku mendekapnya lebih lama, atau mungkin selamanya? Boleh tidak aku... tetap menahannya pergi dariku, boleh tidak aku memaksanya untuk tetap tinggal? Boleh, ya? ...

Senja Tanpa Langit

Langit, aku sedang menggerakkan pulpen tinta ini menggunakan tanganku, menuliskan kata per kata, kalimat demi kalimat, hingga tersusun menjadi paragraf yang tak cuma satu, dan terkumpul dalam satu buku. Buku rahasia milikku. Ini tentang dirimu, Langit. Senja, *** “Lagi ngapain sih, Langit?” tanyaku pada sosok yang berdiri tidak jauh di depanku sekarang. “Lagi mandangin senja. Lihat deh, Ja. Bagus banget.” Serunya namun agak santai. “Senja yang di langit itu, atau seorang Senja yang berada di belakangmu sekarang?” tanyaku lagi, kemudian langit membalikkan badannya mengarah padaku. “Hmm..senja yang mana, ya?” tanya Langit pada dirinya sendiri sembari menyengir. Langit yang terkenal sangat puitis ini selalu saja mengalahkanku dengan ucapan-ucapannya yang sering kali terdengar sederhana dan biasa, tetapi mampu membuat orang yang berbicara dengannya jatuh hati. Kemudian Langit tersenyum. Kini kami seperti bicara lewat jalur hati. Tanpa ada kalimat terucap, dengan bibir yang...