Senyum tiada bosannya bersembunyi, bersembunyi dengan waktu yang tak singkat di balik kesedihan, di balik penantian panjang yang sudah lama masih menjadi tema dalam kesendirianku. Murung menanti Raga. Sosok yang sudah lama aku rindukan. Sosok yang mengubah hidupku lebih bewarna. Raga lah yang membuat hidupku menjadi lebih berarti hingga aku berani percaya diri dan telah mengenal diriku sendiri. Tidak ada cukup kata dan kalimat dirangkaikan untuknya, tidak cukup selembar tulisan puisi untuk menjelaskan siapa dirinya. Aku hanya bisa menunggu dan terus menunggu dengan perasaan cinta yang begitu dalam untuknya, untuk Raga.
Dan saat ini, rangkaian kalimat tentang penantian dan kerinduan itu tak lagi berlaku. Telah berakhir sampai disana, ketika akhirnya sosok Raga yang sangat kurindukan itu kembali padaku.
Diary hari ini,
Rindu,
***
kembali ke rekaman masa lalu 6 tahun yang lalu sebelum hari ini.
“Sekarang waktunya kita istirahat.” Kata ibu mata pelajaran Biologi seraya merapikan buku-buku di atas meja dan berlalu meninggalkan kelas. Ibu Biologi baru saja membagi kelompok di kelasku untuk mengerjakan tugas Biologi yang diberikan. Masing-masing kelompok terdiri dari dua orang.
Tadi, ketika kelompok sudah selesai dibagikan oleh ibu Biologi, aku segera menoleh ke arah laki-laki yang tempat duduknya terhalang satu bangku di sebelah kananku. Ketika itu juga, sepasang mata lelaki itu membalas tatapanku. Lalu dia berdiri dari tempat duduknya dan berjalan menuju pintu kelas. Tatapannya terkesan dingin, ekspresinya datar, sulit sekali untuk bisa mendapatkan seulas senyuman dari murid paling pintar di kelas 12 itu.
Aku memberanikan diri memanggil namanya, teringat dengan pembagian kelompok beberapa menit yang lalu, ketika ibu Biologi menyebutkan namaku dan nama Raga menjadi satu kelompok.
“Ga,” panggilku pelan yang membuatku Raga pun harus menghentikan langkahnya sebelum dia sampai di pintu kelas.
“Apa?” tanyanya secara singkat dan datar. Saat itu, mata kami bertemu. Separuh dalam diriku mulai menghasutku dengan berbagai rayuan yang malas untuk kudengar, dan juga, pompaan jantungku yang tidak seperti biasanya.
“Emm.. kapan kita ngerjain tugas Biologi itu?” tanyaku gugup.
“Terserah kamu.” Jawabnya singkat. Kalimat yang barusan keluar dari mulutnya tidak berbanding sama dengan ekspresi wajahnya yang sekarang sedang dihiasi dengan senyuman manis seorang murid terpintar seangkatan. Organ inti yang letaknya di dada kiriku sedang tidak memompa secara normal, layaknya dia biasa berdetak, kini, detakannya melaju sedikit demi sedikit.
“Kalau besok? Kan tugasnya dikumpul 3 hari lagi, gimana?” tanyaku lagi.
“Bisa, tapi sore aja ya.” Dia seperti bukan Raga yang dikenal banyak orang, nada bicaranya begitu lembut, dan menit itu juga, senyumnya berhasil meluluhkanku dalam sekejap.
Aku hanya menjawabnya dengan anggukan tanda setuju, lalu Raga kembali melanjutkan langkahnya yang terhenti karena kupanggil tadi.
‘Yesss, besok ngerjain tugas bareng Raga!’ batinku.
Satu minggu kemudian, setelah semuanya sudah selesai, baik itu mengerjakan tugasnya, mengumpulnya dan kemudian mempersentasikan hasil tugas yang kami kerjakan berdua. Bahkan saat itu, gugupku tak dapat lagi ditakar ketika berada di samping Raga seraya mempersentasikan hasil pekerjaan kami.
Sepulang sekolah hari ini, Raga mengajakku pergi ke salah satu perpustakaan besar di Jakarta. Raga bilang ia ingin membeli sebuah buku kesukaannya yang sejak dulu dia idamkan, aku tidak tau pasti kenapa Raga ingin mengajakku, kenapa tidak teman-temannya yang lain. Karena penasaran, tak segan aku menanyakan hal itu padanya.
“Ga, kenapa harus aku?” tanyaku pada Raga yang sedang sibuk mencari-cari buku kesukaannya itu.
“Maksudnya?” tanyanya balik kepadaku.
“Emm.. maksudku kenapa harus aku yang kamu ajak pergi ke perpustakaan?”
“Mau aja sih.” Jawabnya
“Mau apa?”
“Mau deket kamu terus, Rindu.” Sontak aku diam kaku setelah mendengar kalimat gombal itu. Aku berusaha menyingkirkan berbagai macam pikiran yang menggangguku, walaupun sebenarnya, memang sosok itulah yang ku inginkan selama ini, sosok yang tak pernah kusangka akan membuatku terperangkap dalam perasaan cinta. Aku berharap aku tidak terperangkap sendiri, aku ingin bersama Raga, ingin sekali.
Aku segera berbalik setelah mendengar gombalan itu untuk menutupi senyumku. “Ya Allah.. seneng banget!” gumamku pelan sambil kegirangan.
“Aku juga seneng, Rindu.”
Ucapannya itu langsung membuatku membalikkan tubuhku mengarah padanya yang sedang berdiri masih dengan sebuah buku di tangannya, senyum manis itu tidak lepas dari wajahnya. Ada rasa antara ingin bahagia atau gugup, bahagia karena baru saja satu minggu, namun Raga sudah mulai menyadari perasaanku padanya. Atau aku ingin sekali gugup karena ucapan pelanku tadi terdengar oleh Raga.
“Yuk, pulang! Udah ketemu nih bukunya.” Kata Raga.
Di perjalanan dari rak buku yang tadi menuju ke kasir pun, masih terasa canggungnya, Raga berjalan lambat di depanku sehingga aku ragu untuk mempercepat langkahku dan mendahuluinya.
Tiba-tiba saja Raga bicara, “Jujur itu sangat penting, Rindu.”
“Hm? Iya, emang.” Sahutku yang masih berada di belakangnya.
“Tetapi kamu jarang mengamalkannya dalam kehidupanmu, buktinya sekarang.”
“Hah? Maksud kamu apaan sih, Ga?” aku bertanya karena kebingungan dengan ucapannya yang tiba-tiba dan tidak ada sangkut pautnya dengan perjalanan hari ini.
“Kamu masih belum pernah jujur tentang perasaan dan isi hatimu, Rindu. Hehe.”
Kakiku berhenti melangkah, sekali lagi garis melengkung di wajahku tercipta karena ucapan Raga. Raga memang benar, aku masih belum berani jujur akan hal itu, tentang perasaan yang selama beberapa hari ini kupendam untuknya.
Sudah melewati beberapa bulan, setelah kali pertama aku mengenal sosok Raga yang sebenarnya, sosok yang ternyata sangat baik, ramah dan hangat. Aku ragu jika sikap perhatiannya itu ia tujukan pada semua orang, aku merasa aku termasuk salah satu orang yang sangat beruntung karena bisa mendapatkan banyak perhatian dari Raga.
“Rindu!” suara Raga menghentikan aku dengan duniaku sendiri, aku melihatnya yang berlari pelan menghampiriku dengan membawa beberapa kertas di tangannya, Raga tersenyum bahagia.
“Ada apa, Ga?” tanyaku setelah dia duduk di sampingku.
“Aku.. aku di terima di universitas Wellington, aku akan mendapat beasiswa, Rindu! Aku akan kuliah di luar negri!” Raga sangat kegirangan sambil memegang kedua tanganku dan mulutnya terus bercerita tentang universitas impiannya itu.
“Alhamdulillah, Ga. Sudah pernah kubilang, bukan? Kamu pasti akan berhasil meraih impianmu, kamu pasti bisa menjadi anak kebanggaan kedua orang tuamu, percayalah dengan scenario terbaik dari Allah untukmu, Ga. Jalan yang Dia pilih untuk hidupmu selalu yang terbaik. Jangan pernah berhenti bermimpi, Ga. Kamu pasti pernah denger, kata orang, bermimpilah setinggi langit, maka kamu akan jatuh di antara bintang-bintang. Aku percaya pada mimpi-mimpimu.”
Raga hanya menjawab perkataanku dengan senyuman manisnya yang tidak akan pernah kulupakan itu.
“Rindu,” panggilnya.
“Iya, Ga?”
“Aku mencintaimu.”
Perkataan yang baru saja terdengar di telingaku itu bagaikan sebuah adegan yang tiba-tiba saja menjadi kenyataan, menghapus harapan-harapanku dalam mimpi, beralih pada kenyataan yang sekarang sedang kuhadapi. Laki-laki yang kucintai, juga mencintaiku.
“Aku sudah mengetahuinya selama ini, Rindu.” Lanjut Raga lagi.
“Tahu apa?” tanyaku.
“Tentang rasa cintamu padaku yang juga bersembunyi dalam dirimu itu. Tapi sayangnya, aku berhasil menemukannya setiap kali melihatmu tersenyum padaku.”
Raga membuatku sangat malu. Raga ternyata sudah mengetahui segalanya, bahkan tentang perasaan cintaku dalam diam untuknya. Aku memang tidak pandai dalam hal bersembunyi.
“Ga,” panggilku.
“Hm?”
“Aku mencintaimu juga.”
“Udah tahu!” jawab Raga mengejek.
“Hehe, ketahuan deh.” Seringaiku.
Aku berjalan bersama Raga melewati koridor sekolah yang mulai sepi karena jam sudah menunjukkan pukul 3 sore, sedangkan aku dan Raga masih betah berlama-lama berada di sekolah. Raga membawaku masuk kedalam kelas yang telah kami tinggali selama hampir 4 bulan ini. Tangan hangat Raga masih setia mengenggam tanganku.
“Kapan pulang, Ga?” tanyaku dengan sedikit merengek, berharap Raga akan segera membawaku pulang karena aku sudah bosan berada di sekolah.
“Sssst.. diam!” pintanya.
“Ngapain ke kelas sih, Ga? Udah sepi juga, ketangkap CCTV kita.”
“Ah, gapapa, orang cuman masuk kelas doang. Coba diam deh, Rindu. Diam aja, terus…” Raga menggantungkan perkataannya.
“Terus?” tanyaku penasaran.
Raga melepas tangannya dari tanganku kemudian dia bejalan menuju tempat duduknya yang berada di dekat jendela, dan duduk di sana.
“Kamu masih ingat, Rindu? Ketika untuk kali pertama kamu berani menatap dengan lekat ke arahku? Ketika ibu Biologi baru saja membagikan kelompok pada saat itu. Ingat, Rindu?”
Aku tak segan untuk juga melangkahkan kakiku menuju tempat dudukku lalu duduk di sana.
“Ingat banget.” Jawabku sambil tersenyum. Aku tersenyum karena mengingat masa-masa beberapa bulan yang lalu. Hari ketika kali pertama aku dibuat jatuh cinta oleh Raga.
“Kamu ingat ketika kamu berani menghentikan langkahku cuma buat nanyain soal ngerjain tugas?”
“Tidak perlu bertanya, Ga. Cerita awal mula aku jatuh cinta padamu saat itu sudah lengkap bersama rinciannya dalam buku diaryku. Aku sudah menulis semuanya, Ga. Semua tentangmu.”
“Ternyata semuanya berawal cuman gara-gara kita satu kelompok,ya?”
“Hehe, iya, Ga.”
***
Selama beberapa bulan aku menjalani hidupku yang begitu kurasakan makna sebenarnya, makna dari hidup seorang Rindu yang akhirnya bisa terperangkap dalam perasaan cinta bersama orang yang dicintai.
Tiba waktunya, ketika aku harus menerima kenyataan menyedihkan dan begitu pahit karena harus melepas Raga pergi dariku, bahkan sangat jauh. Raga harus meninggalkanku di kota penuh dengan kenangan kami ini, Jakarta yang menggambarkan kisah cinta kami. Salah satu cara agar aku tetap bisa merasakan kehadiran Raga bersamaku adalah dengan tetap tinggal di Jakarta, terus mengingat setiap momen tidak terlupakan saat bersamanya.
Jakarta, Ibu kota yang tetap menemani hari-hariku meski Raga pergi jauh dariku.
Besok adalah hari keberangkatan Raga ke Wellington untuk melanjutkanya pendidikannya ke universitas di sana, dia memilih masuk ke fakultas kedokteran, karena memang itulah impian terbesarnya yang sering dia ceritakan padaku. Aku percaya, sejauh apapun dia pergi, hati dan cintanya masih akan selalu bersamaku, menggenggam erat jiwaku.
Aku menunggu Raga menelponku malam ini, dia bilang dia akan mengajakku ke perpustakaan lagi entah untuk sekedar jalan-jalan berdua atau Raga memang ingin membeli buku lagi.
Ponselku tak kunjung bordering, masih tidak ada nama Raga yang biasanya sering muncul di layar ponselku ini.
“Hmm, jadi atau nggak ya? Raga kemana sih?” ucapku pada diriku sendiri.
Aku masih menggenggam benda segi panjang itu, benda yang daritadi tidak berbunyi sama sekali, mata yang sangat mengantuk membuatku tidak sadar hingga akhirnya meninggalkan malam sunyi ini dan beralih ke alam mimpi.
Aku terbangun pagi Minggu ini, pagi yang masih belum memperlihatkan cahaya matahari, pagi yang masih murung dengan warna langit yang tidak terlalu cerah untuk jam seini. Sudah pukul 7, aku segera bergegas untuk pergi ke bandara karena sebentar lagi mungkin Raga akan segera berangkat. Aku tidak mau ketinggalan, aku ingin melihatnya untuk yang terakhir kalinya sebelum jarak memisahkan untuk waktu yang lama nanti.
Setibanya aku di bandara, aku mencari Raga ke sana kemari, aku berusaha menghubungi nomor Raga namun telponku tak kunjung ia angkat.
‘Raga, kamu dimana?’
Aku sangat khawatir, Raga masih saja tidak kutemukan bahkan setelah sudah setengah jam berada di sini.
Yang kutemukan hanyalah salah satu teman Raga, yaitu Dani. Dani menghampiriku dan menyapaku hangat.
“Hai Rindu, ngapain disini?” Tanya Dani.
“Nungguin Raga, Dan. Katanya berangkatnya hari ini.” Jawabku.
“Hah? Raga? Bukannya Raga udah berangkat tadi malam? Katanya keberangkatannya dimajuin.”
Aku tertegun, mataku membulat lalu perlahan menyipit demi menahan hujan yang akan segera melintasi pipiku.
Aku tidak tahu harus berbuat apa, dan harus berkata apa lagi. Aku meninggalkan Dani yang sudah pasti sekarang dia sedang kebingungan karena melihatku yang berlari begitu saja bersama air mata yang sudah tidak dapat lagi kutahan.
Aku sangat kecewa. Sekaligus merasa sangat hancur begitu aku sadar, Raga sudah pergi jauh meninggalkanku sendirian.
4 Tahun kemudian..
Waktu demi waktu berjalan, hari terus berganti hingga terus mengakhiri tahun dengan tahun yang baru. Sudah 4 tahun Raga pergi tanpa kata selamat tinggal dan perpisahan. Hidupku selama beberapa tahun itu sangat hancur, aku ditemani kesendirian, warna hidupku mulai meredup. Hari-hariku penuh kesedihan, meski hati ini telah dikuatkan karena berhasil bertahan sejauh ini untuk menunggu kepulangan Raga, tetap saja, aku begitu lelah dengan hidupku yang sudah kehilangan arti. Bahkan terkadang aku sempat berpikir dan mencoba untuk melupakan sosok yang sangat kucintai itu. Nyatanya, aku tetap tidak bisa melakukannya. Aku hanya inginkan Raga pulang dan kembali untukku, itu saja
.
Keseharianku tidak teratur, bahkan sekarang, tidak ada lagi makanan yang pas di lidahku, tidak ada yang bisa menggantikan kebahagiaanku ketika bersama Raga. Hidupku sangat kacau.
Hari ini, lagi lagi aku harus dibawa ke rumah sakit karena perutku yang terkadag merasakan sakit yang sangat menyiksa. Kedua orang tuaku tidak tahan melihat tangisanku saat rasa sakit itu datang sehingga mereka harus membawaku kerumah sakit lagi.
Aku sudah memasuki salah satu kamar rumah sakit.
“Rindu, ibu sama ayah keluar bentar, ya. Dipanggil dokter tuh.” Kata ibuku lalu mengecup dahiku.
“Hm, iya, Bu.” Jawabku.
Aku merebahkan tubuhku di ranjang kamar rumah sakit ini sekarang. Aku memejamkan mataku, kenangan dan memori tentang Raga kembali berputar di kepalaku. Samar-samar, aku dapat mendengar suara langkah kaki yang sepertinya adalah seorang dokter. Dokter itu mendekatiku.
“Dengan Rindu, ya?” tanyanya.
“Iya, saya Rindu.” Jawabku masih dengan mata yang tertutup.
“Apakah kondisi ginjal Anda semakin memburuk? Masih sering merasa sangat sakit di perut Anda?” Tanya dokter itu lagi. Entah kenapa rasanya terasa berbeda ketika mendengar suaranya, aku tidak tahu ini perasaan apa, dalam seketika, sakit yang tadinya sangat menyiksa perutku perlahan hilang.
“Iya, Dok.”
Dokter itu rasanya semakin mendekat ke arahku, dan mungkin dia sedang berada di samping ranjangku.
“Aku di sini ingin mengobati penyakitmu dan berharap penyakit itu akan segera sembuh. Dan.. tujuan utamaku di sini adalah untuk mengobati rasa kecewamu setelah kepergianku 5 tahun yang lalu, sekaligus untuk mengakhiri penantian panjangmu untukku.”
Seketika, suasana terasa sangat hening.
Aku membuka mataku dengan cepat setelah mendengar kalimat yang terucap dari seseorang yang sangat kunanti-nantikan selama beberapa tahun ini. Air mataku tak lagi diam, sudah jatuh sejak tadi. Jantungku berdegup kencang. Tak ada orang lain yang bisa membuat jantungku berdegup sekencang ini. Kecuali, Raga. Yang kulihat pertama kali setelah aku membuka mataku adalah sosok yang sangat kurindukan itu, dia adalah Raga.
Tangan hangatnya memegang tanganku yang sudah gemetar sejak tadi. Dokter yang sangat kukenal ini duduk di sampingku. Senyum di wajahnya yang membuatku kembali semangat untuk terus melanjutkan hidupku.
“Ini aku, Rindu. Ini aku Raga.”
Aku hanya mengangguk pertanda bahwa aku masih sangat ingat dengannya, mana bisa aku melupakan seseorang yang sangat kucintai.
“Maafkan aku,”
“Kenapa baru saja pulang, Ga?” tanyaku pada Raga setelah berhasil meredakan tangisanku.
“Keberangkatanku hari itu dipercepat, aku berangkat malam itu karena perkiraan cuaca yang tidak memungkinkan untukku berangkat besok harinya. Mau tidak mau aku harus berangkat malam itu juga tanpa sempat mengabarimu, Rindu. Sangat sulit menghubungimu setelah aku berada di Wellington. Aku tidak tahu harus melakukan apa lagi untuk menjawab kerinduanku padamu. Hingga akhirnya setelah lulus dari universitas itu, tidak ada harapan lagi selain aku harus terus melanjutkan impianku sampai menjadi seorang Dokter. Aku selalu mengingatmu, Rindu. Di hari ketiga tesku di sebuah rumah sakit di sana, aku menerima kabar dari teman-temanmu bahwa kamu sedang sakit parah, dan ginjalmu bermasalah, setelah mendengar itu, tanpa berpikir panjang aku langsung memutuskan untuk kembali ke kota yang menyimpan kenangan-kenangan kita, Jakarta. Aku tidak peduli lagi dengan tesku di sana. Aku langsung pulang hari itu juga. Temanmu, Ahra, memberitahuku alamat rumah sakit tempatmu berobat, aku meminta bantuan pada temanku yang juga bekerja disini. Mulai hari ini, aku bekerja sebagai seorang Dokter disini. Dan akhirnya, kepulanganku tidak sia-sia, Rindu. Aku kembali untukmu.”
Kalimat panjang itu sudah cuku menjawab kerinduanku selama ini. Bahkan pulangnya Raga adalah bayaran untuk penantian panjangku.
”Aku sangat merindukanmu, Raga.”
“Aku juga sangat merindukanmu, Rindu. Aku mecintaimu. Maafkan aku..”
Percayalah, jarak tidak akan mampu memisahkan hati yang telah terikat kuat. Meski dengan tahap-tahap yang sangat berat ketika disuguhkan oleh sebuah perpisahan, rasa rindu, khawatir, lelah, menunggu, semua itu akan terbayar dengan sosok yang kembali pulang. Itu pasti.
Percayalah dengan scenario Allah, tidak akan ada yang bisa mengalahkan scenario terhebat itu.
Komentar
Posting Komentar