Langsung ke konten utama

14



Di, 
Kamu tahu hari ini hari apa? Ini hari Rabu, Dii. Memang benar sih, Rabu akan selalu kita temui di tiap minggu. Dalam sepekan akan selalu ada rabu. Sepertinya baru kali ini saja aku mencoba lebih menggalinya dan akhirnya aku baru sadar, tanggal-tanggal dan hari-hari di bulan November ini sama dengan Februari, dimulai dengan hari Kamis, tanggal 1 November. Sama, pada Februari pun juga begitu. Sama, Dii.

Dan, yang paling penting adalah, hari Rabu ini, adalah tanggal 14, Dii. Hari yang sama beriringan dengan tanggal yang sama seperti pada bulan Februari. Aku bisa menghitungnya dengan jari, coba kamu hitung, Dii, sudah berapa bulan semenjak hari karnaval itu? 9 bulan, Dii.. Selama 9 bulan, aku bertahan dengan perasaan yang begitu dalam, perasaan yang tidak tahu munculnya dari mana, yang jelas, dia berasal dari hati. Hati yang mencoba menerima kenyataan baru, ketika kala itu, seluruh elemen dalam diriku memihak kepada satu rasa, yaitu cinta. 

Kenapa aku baru saja mementingkan tentang tanggal ini di bulan November? Kenapa tidak di tanggal 14 di bulan-bulan lainnya? Jawabannya : tidak tahu. 
Hanya saja aku kembali terpikat dengan tanggal dan hari itu, hari yang sama, tanggal yang sama, beriringan, itu saja. Cuma bulan yang berbeda. Dan masih berada di tahun yang sama. Tahun yang menjadi latar kisah kita saat itu.

Kalau kamu pikir aku sudah lupa dengan tanggal itu dan baru saja ingat sekarang, maka itu salah, Dii. Setiap harinya, angka 14 sering kali mampir sebentar di pikiranku. Menceritakan ulang rekaman masa itu, suatu masa, suatu hari yang jika saja kamu dapat mengingatnya dengan benar, kamu pasti akan merasa kembali ke sana. Aku yakin akan hal itu. Tapi aku tidak yakin aku akan mengingatnya. Aku telah membulatkan kepercayaanku bahwa kamu sudah lupa segalanya, segala yang berkaitan denganku. Apalagi hari yang sia-sia bagimu itu. 

Tanggal itu mampir tidak untuk kusuguhkan sesuatu, dia yang menyuguhkannya. Dia menyuguhkan berbagai macam moment yang telah dibingkis dengan nama kenangan. Mau tidak mau aku harus siap menerima bingkisan itu, Dii.

Percayalah, Dii, bingkisan itu tidak main-main, dia membawaku kepada kebahagiaan lama yang serasa masih utuh hingga sekarang, moment-moment yang cuma sekedar mampir mengingatkan itu membuat bibirku membentuk garis melengkung tanpa paksaan. Aku bahagia kala mengingat segalanya, segala tentang kita pada hari itu. Rabu,  14 Februari 2018.

Satu hari yang kejutannya tidak sebatas satu, kebahagiaannya tidak main-main, perasaannya yang juga sudah tidak sanggup untuk disembunyikan. Satu hari itu, memang tidak akan dikisahkan di buku manapun atau di novel manapun. Hari itu cukup menjadi hari bersejarah dalam kehidupan selama 15 tahun ini.

Di, kalau diminta untuk menjelaskan dan mendefinisikan tentang hari itu, aku tidak akan bisa. Aku tidak pandai membuat puisi, tidak juga pandai merangkai kata, dan sepantasnya, hari paling berharga bagiku itu tidak harus ku jelaskan pada siapapun. Terutama kamu. Aku tahu kamu tidak akan peduli dengan hari itu. Bukan begitu? 

Aku cukup ingin merasakannya, merasakan setiap detik di masaku sekarang ketika aku kembali mengingatnya. Ketika rekaman tentang kita yang dulu itu berjalan, berputar dan terus mengingatkanku, aku tak segan untuk menikmatinya dengan baik, dengan tenang dan dengan penuh kebahagiaan yang juga datang. 

Aku sadar, kebahagiaan itu cuma datang,  bukan kembali. Kebahagiaan yang daritadi kusebutkan, masih belum bisa kupercaya akan kedatangannya. Itu palsu. Tidak ada yang se asli pada hari itu. Tidak akan ada, Dii! Kebahagiaan yang sengaja ingin membuatku seketika merasakannya, lalu kemudian lenyap seketika juga. 

Mudah lenyap.

Dan tidak sedikit hal-hal yang melenyapkannya, membuatku harus kembali dikerumuni luka dan rasa sakit. Tentang dia, perempuan barumu itu. Setiap kali mendengar namanya, ataupun teringat namanya, satu luka kembali tergores, rasa sakit kembali tercipta, rintikan deras tangis itu kembali menghujani. Bukan salahmu, Dii. Aku tidak ingin menyalahkanmu, aku menyayangimu. 
Bukan juga karena perempuan itu, bukan. Dia tidak salah, dia memang berhak mendapatkan perasaan istimewa darimu yang dulu pernah kamu titipkan padaku. Dia berhak bahagia bersamamu, Dii. Aku pun inginkan hal itu terjadi. Apapun yang membuatmu bahagia, aku mau melakukannya. Termasuk menerima banyak luka ketika mendengar kabar bahwa perempuan itu berhasil merebutmu. 

Ini salahku, Dii. Aku sengaja menyakiti diriku sendiri. Aku sengaja mencari-cari hal yang dapat menjadi pisau untuk menyayat dan melukai hatiku sendiri. Aku memang ingin menyakiti perasaanku sendiri sedalam-dalamnya. Lalu menampilkannya padamu, ini luka, Dii. Luka milikku yang dari dulu sangat ingin kamu lihat. Inilah kebahagiaanmu, bukan? Luka dan sakitku lah yang sering kali menciptakan sedikit bahagia dan puas dalam hatimu. Lihatlah, aku sudah melakukannya, cuma untukumu. 


***

19.44

Ketika pesan itu masuk,  pesan dari seorag pengirim yang namanya tidak mau terlepas dari diriku, tidak ada yang berani membalas dan menjawabnya selain air mata. Air mataku sangat berani, Dii. Meski dia tidak memperlihatkannya langsung padamu, dia cukup berani, berani jatuh setelah membaca pesanmu itu. Pesan yang teramat dan teramat sangat menyakitkan. Kupikir ini memang biasa. Sebelumnya sudah banyak kalimat yang akhirnya membuatku sadar dan mengerti, bahwa kamu sangat membenciku, Dii. Aku tahu. 

"Jangan menunggu kalau lelah. "

Kalimat terakhir sebelum aku memutuskan secara bulat untuk memblokirmu pada hari itu. Tanpa ucapan apapun, akhirnya kamu mengerti, blokir itulah yang menandakan bahwa aku pergi. Pergi merelakan dan mengikhlaskan orang yang membenciku bebas di hidupnya. 

Dan malam ini, aku sadar lagi, lagi dan lagi, masih tidak ada rasa cinta di hatimu. Masih kosong dan selamanya tidak akan lahir lagi perasaan itu. Atau memang aku yang belum sadar bahwa perasaan cintamu itu tidak pernah ada?
Rasa benci itu rupanya masih bertahan, dan masih setia menyakitiku, bukan? Seharusnya tadi aku tidak mengirim pesan padamu, Dii. Karena kalau sudah berani mengirim pesan padamu, maka aku harus siap terima satu kenyataan lagi yang akan selalu sama seperti sebelumnya, bahwa kamu sangat membenciku. 

Dan pada intinya, tidak ada gunanya tulisan ini dituliskan. Cuma sekedar untuk memuaskan hatiku yang masih saja sanggup kuberikan luka. Dan aku tidak puas-puasnya menghiasi hari-hariku dengan rasa sakit yang baru. Aku memang sudah terbiasa menyakiti diriku sendiri. 

Hari dan tanggal ini sebenarnya tidak ada arti apa-apa bagimu, Dii. Disini aku juga tidak berharap kamu membacanya. Aku khawatir setelah kamu membacanya, kamu akan semakin membenciku. Aku mengerti, Dii, setiap yang kulakukan hanya akan menambah rasa bencimu padaku. Bahkan kehadiranku. 


Selamat malam. Aku mencintaimu. Selalu, Dii. 








Rabu, 14/11/18


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Untuk Januari dan Februari

Kepada kalian, Januari dan Februari.  Aku tahu kalian tidak mungkin dapat mendengarku apalagi menjawab dan membalas perkataanku. Aku sadar dan semesta tahu, aku sangat bodoh, berbicara dengan bulan yang ditemani oleh 30 hari bersamanya.  Untuk Januari dan Februari.  Terima kasih untuk waktu berharga saat itu. Kala itulah, Tuhan mulai mengubah hidupku. Segala tentang sedih dan kawan-kawannya(tangis), tangis beserta sahabatnya(luka), dan rasa sakit bersama temannya(kecewa), digantikan dengan senyum, tawa dan rasa bahagia.  Kujalani dan lewati hari demi hari yang sangat berharga dan tak ternilai itu, dengan rasa yang baru saja lahir kemudian terus tumbuh dan berkembang secara pesat dan deras dengan sangat baik. Tidak tahu kenapa peta di hatiku menunjukkan bahwa arah yang benar untuk ku tuju adalah lelaki itu. "Dia". Sebab itulah aku mengikutinya, dan terus berjalan menuju kebahagiaan bersama rombongan cinta dalam makna "perasaan". Untuk Januari,...

PRASANGKA

Untuk kesekian kalinya, kamu merancangnya seperti ini lagi, semesta. Untuk kesekian kalinya, kepulangan jadi prolog, bahagia menghiasi. Perpisahan menjadi epilog, rasa sakit menghiasi. Harus, ya? Ada perpisahan lagi? Ada apa? Boleh tidak aku egois? Untuk kali ini saja, aku ingin menyingkirkan perpisahan, aku ingin bebas dari kehilangan yang begitu menakutkan. Bukan tentang menakutkannya, tapi tentang sosok yang begitu disayang. Siapa sudi kalau dia hilang? Boleh tidak aku mengambil keputusan sendiri? Aku ingin membuat cerita sendiri, mengukir berbagai macam kebahagiaan sendiri, berdua dengannya maksudku. Kamu memang selalu mencampurinya, semesta. Tapi, untuk kali ini saja, boleh tidak aku egois? Egois demi hubungan kami, demi perasaan kami, demi, menghindari perpisahan. Untuk kali ini saja, boleh tidak aku mendekapnya lebih lama, atau mungkin selamanya? Boleh tidak aku... tetap menahannya pergi dariku, boleh tidak aku memaksanya untuk tetap tinggal? Boleh, ya? ...

Senja Tanpa Langit

Langit, aku sedang menggerakkan pulpen tinta ini menggunakan tanganku, menuliskan kata per kata, kalimat demi kalimat, hingga tersusun menjadi paragraf yang tak cuma satu, dan terkumpul dalam satu buku. Buku rahasia milikku. Ini tentang dirimu, Langit. Senja, *** “Lagi ngapain sih, Langit?” tanyaku pada sosok yang berdiri tidak jauh di depanku sekarang. “Lagi mandangin senja. Lihat deh, Ja. Bagus banget.” Serunya namun agak santai. “Senja yang di langit itu, atau seorang Senja yang berada di belakangmu sekarang?” tanyaku lagi, kemudian langit membalikkan badannya mengarah padaku. “Hmm..senja yang mana, ya?” tanya Langit pada dirinya sendiri sembari menyengir. Langit yang terkenal sangat puitis ini selalu saja mengalahkanku dengan ucapan-ucapannya yang sering kali terdengar sederhana dan biasa, tetapi mampu membuat orang yang berbicara dengannya jatuh hati. Kemudian Langit tersenyum. Kini kami seperti bicara lewat jalur hati. Tanpa ada kalimat terucap, dengan bibir yang...