Langsung ke konten utama

Juli yang Sedih




Notif
"Fi,"
Dia mengirim pesan padaku, setelah selama kurang lebih satu bulan kami berpisah karena sebuah alasan, yaitu kebosanan dan perselingkuhan. Ketika rasa cinta yang ia titipkan padaku selama lebih dari dua tahun itu lenyap termakan rasa bosannya yang akhirnya ia atasi dengan perselingkuhan.
Terlebih lagi, ketika ia lebih memilih perempuan barunya dibandingkan diriku. Aku hancur saat itu juga, perpisahan kami diiringi kebencian, kemarahan. Hancur karena rasa bosan, yang seharusnya kebosanan sebesar apapun tidak akan mampu menghancurkan cinta dari keduanya yang telah tumbuh hingga begitu kuat.

Aku membencinya, tetapi rasa benci itu hilang langsung dalam sekejap ketika ia muncul kembali meski sekedar mengirim pesan, aku begitu merindukannya. 

Satu minggu sebelum aku memasuki sekolah baruku, hidup baruku juga, aku akan menjadi anak SMA, hidup di kota baru dan meninggalkan kampung tercintaku. Hari raya tahun ini, tanpa dilengkapi kehadirannya karena perpisahan kami yang terjadi beberapa bulan lalu. 

Namun, pesan yang baru masuk itu membuat duniaku serasa berhenti, hatiku bangun kembali dari kehancurannya, hatiku mengenal seseorang yang mengirim pesan itu. 

"Fi, "
Dengan cepat aku membalasnya dengan pura-pura cuek, "Apa? "
"Aku minta maaf, Fia. "
"Untuk apa? "
"Ya, minta maaf aja, "
"Tulus nih minta maafnya?" 
"kalau gak tulus, buat apa minta maaf?"
Masih sama, masih hancur, entah dia masih membenciku, dan aku juga tidak tahu, apakah aku masih mencintainya? Aku ingin sekali menjawab iya. 

"Halah serah deh, kamu aja gak pernah sadar."
"Kamu yang gak sadar-sadar, Fi"
"Gak sadar apa?"
"Bahwa aku menyayangimu."
"Hah? Masa?"
"Maksudku, kamu gak sadar bahwa dulu aku menyayangimu, kamu aja gak percaya."
"Oh,"

Aku mengirim sebuah foto yang berisi catatan singkatku, tentang isi hatiku bahwa aku masih sangat menyayanginya, masih sangat mencintainya. 

Foto itu aku berikan efek blur, buram, aku harap dia akan sulit membacanya. Meski sebenarnya yang kuinginkan adalah dia mengerti dengan perasaanku yang masih sama seperti dulu. 

Setelah kukirim, aku mengabaikan handphoneku sebentar, lalu kembali melihat foto itu untuk memastikan apakah foto itu sulit atau mudah untuk dibaca. Aku terkejut, foto yang kukirim salah, aku mengirim foto catatan asli tanpa efek buram, tulisan disana begitu mudah dan sangat jelas untuk dibaca, aku segera menghapus foto itu sebelum dia membacanya. 

Namun, telambat, ia sedang mengetikkan pesan. Aku segera mengirim pesan terlebih dulu padanya sebelum dia salah paham,
"Salah kirim, Di." aku spam, "Salkir"
"Salah kirim sumpah,"
Tapi, ia membalas, 
"Haha, gapapa, santai aja, Fi," setelah itu aku tidak tahu harus berbuat apa lagi. 
"Sumpah, Di. Aku salah kirim, jangan dipikiran lagi, ya.."
"Jujur saja, Fi. "
"Jangan dibahas lagi!"
"Haha, kamu masih sayang sama aku kan, Fi!"
Aku diam, 
"Ngaku, Fia.."
"Apaan!"
"Seandainya kamu bilang dari kemaren-kemaren,"
"Aku bilang jangan bahas itu lagi, kalau masih aja, aku..."
"Apa?"
"Gapapa,"

Aku begitu menyayanginya, aku merindukan sosok itu, sosok yang selalu mengejekku. Bahkan saat ini, masih terasa ejekannya sangat tepat bahwa memang benar, aku masih sangat sayang padanya. 

Hingga malam hari, aku masih betah membalas pesan darinya, masih setia menunggu balasannya yang terkadang lama. Tetapi rasa kantukku tidak ingin menunggu lagi, aku yakin masih ada hari besok untuk saling mengirim pesan dengannya. 

"Cepat tidur," katanya
"Iya nih mau tidur, " balasku. 
"Selamat tidur:*" balasnya lagi dengan satu simbol cium yang menurutku alay tapi itulah salah satu yang aku rindukan ketika LDR dengannya. Aku membalas dengan simbol cium yang tak kalah banyaknya. Masih tidak ada gengsi, meski ada gengsi pun, dia sering kali bisa menangkap gengsi itu dan menghilangkannya. 

"Ini nih punyaku lebih banyak:* (kira-kira lebih dari 10)" balasku. 
"Jujur, Fi, kamu masih sayang kan sama aku?" tanyanya lagi.
Aku mencoba mengalihlan pembicaraannya, "Ah kamu tidak bisa lebih banyak dari aku, aku menang, aku lebih banyak:* (simbol cium yang lebih dari 20)"
Sayangnya, dia lah yang selalu menang, "Jangan mengalihkan pembicaraan, Fia, jujur aja gapapa."
"Ah, kamu kalah, Di. Yaudah aku tidur ya.." kataku lagi untuk mencoba mengabaikan pembahasan darinya itu.
"Iya deh iya."

Keesokan harinya, rasa itu tetap setia menemani, rasa yang dulu pernah tercipta, rasa yang hingga kini, masih menyelimuti hati. Hati yang belum mampu untuk menghapus namanya. Entah apa lagi, ini bukan lagi status yang sama, tidak ada lagi ikatan seperti dulu, berubah, tapi satu, cinta itu masih bertahan. 

"Fi, coba jujur aja, seandainya kamu jujur,  aku juga akan jujur, gapapa kok."

Melihat pesan dengan isi yang sama untuk keberapa kalinya itu, aku tidak kuat lagi menahan kejujuran yang bersembunyi, aku harus segera melakukan itu, yakni jujur. Aku mematikan jaringan handphoneku, agar aku lebih leluasa untuk menuliskan pesan yang panjang untuknya, mengungkapkan semuanya. Pesan itu terlalu panjang dan terlalu bermakna untuk kutuliskan disini, karena cuma dia, dan untuk dia saja, cuma padanya ungkapan itu seharusnya dibaca. 

Setelah selesai mengetiknya, aku mengirimnya lalu menghidupkan lagi jaringan handphoneku, pesanku langsung terkirim, dan juga beberapa spam darinya yang mungkin karena aku nonaktif untuk beberapa menit menyebabkan ia mencariku. 

Aku sebenarnya belum siap membaca balasannya, namun itu harus, aku harus siap. Balasannya cuma singkat, 
"Sudah kuduga kan, kamu pasti masih sayang padaku,"
"Kamu?" balasku
"Sama, Fi." balasnya lagi. 

Aku tidak dapat menyembunyikan rasa senangku lagi saat itu, meski status tidak akan pernah sama seperti dulu lagi,  setidaknya hati kami masih menyatu, itulah satu-satunya kenyataan yang membuat lukaku yang dulu perlahan membaik. 

Tidak lama setelah itu, dia mengirim sebuah pesan, mempromosikan sebuah pin salah satu temannya, perempuan, 
"Nadhia, teman seangkatan, cantik, tambahkan pinnya yaa.. " katanya.

Tidak ragu aku untuk langsung menambahkan pin temannya itu, selesai, dan berteman.

Malam itu, orang yang baru saja pinnya aku tambahkan ke medsosku langsung mengirim pesan, awalnya aku bingung, entah kenapa. 
“Salam kenal, ya.” Katanya
“Iya, Salam kenal juga,” balasku. 
“Aku Nadhia.”
“Iya, “
Aku belum pernah mengenal perempuan ini, melihat dari foto profilnya pun, aku sama sekali tidak mengenalnya, cuma seperti yang dia promosikan tadi, teman seangkatan katanya. Tiba-tiba Nadhia menanyakan tentang temannya itu, “Kamu kenal dia?”
“Iya kenal” kataku
“Teman?” tanyanya
“Iya”
“Oh, aku juga temannya, seangkatan. Kalau boleh tahu, kamu ada gak perasaan sama dia?”
Aku bingung, apa orang ini benar-benar dekat hingga bertanya tentang “perasaan”? Aku refleks menjawab iya dalam hatiku. Tapi untuk apa aku mengakui perasaanku pada orang yang baru saja kukenal, apalagi aku cuma tahu namanya. 
“Gak ada.” Balasku langsung.
“Hah? Masa gak ada?”
Aku semakin bingung, aneh dan heran juga. Orang ini kenapa, pikirku. Ya, mungkin tidak seharusnya aku mengakui perasaanku dengannya. 
“Iya cuma teman, gak lebih.” Kataku. 
“Oh yaudah.”
“Iya. “

Dia belum berhenti mengirim pesan,
“Oh ya, sebaiknya kamu jujur aja, aku temannya kok, aku sering chat dengannya, dia juga cerita ke aku. Tenang aja. “ katanya lagi. 
Aku lebih memilih untuk tidak peduli. Dan, sebenarnya, cemburu, sedekat apa mereka sampai saling berbagi cerita? 
Tapi sudahlah. 
“Oh, benarkah?” balasku. 
“Iya, kamu chat juga sama dia?”
“Iya, kadang. “
“Beneran gak ada perasaan lebih ke dia?” tanyanya lagi. 
“Gak ada.”

Setelah itu, pesanku cuma dibaca. 
Aku masih tetap setia membalas pesan-pesan dari seseorang yang istimewa itu, aku tidak ingin melewatkan setiap candanya, kata-katanya yang konyol, dan juga, sedikit rincian masa-masa ketika kami bersama dulu, yang ia masukkan ke sedikit candaan, sebagai kode bahwa aku dan dia masih sama-sama merindukan masa itu. Mungkin seperti itulah tepatnya.

Tidak jarang dan mungkin sudah sering dia bertanya tentang perasaanku, mungkin itu terlalu berlebihan, tapi dengan seringnya ia bertanya, maka sering jua aku akan menjawab bahwa aku sangat menyayanginya.

Lepas dari itu, ada Nadhia, yang masih saja suka mengirim pesan padaku, membicarakan temannya itu, aku masih penasaran sedekat apa mereka. Ia juga pernah memaksaku untuk mengakui perasaanku. Tidak ada sama sekali keinginan di hatiku untuk jujur padanya tentang perasaan yang cuma mau kusimpan ini. Aku baru mengenalnya kemarin, lalu untuk apa mengungkap dengan jelas tentang cinta yang seharusnya fokus pada satu orang, cuma untuk satu orang, teristimewa, dan memang dia lah yang pantas menerima cintaku. Juga cuma padanya mungkin aku wajib jujur tentang perasaanku. Bukan untuk orang baru ini. 
Aku bertanya pada Nadhia, “Sering chat sama dia?”
“Iya, sering cerita. Kami teman dekat.” Balasnya di pesan itu. 
“Oh.”
“Oh, ya, menurutmu dia orangnya seperti apa?”
“Gak tau juga.” Jawabku pura-pura. 
“Kalau menurutku, dia itu orangnya terkesan santai, enjoy, ya gak ribet orangnya. “ katanya
“Kenal banget sama dia, ya,”
“Iya, kan, sudah lama kami akrab.”
“Iya iya.”
“Kenapa kamu gak ada perasaan sama sekali sama dia?” tanyanya lagi. 
“Ku bilang kan teman aja.” Aku mulai jenuh. Apa hubungan mereka? Sekongkol di belakangku? Ingin apa perempuan ini? 
“Dia gak punya pacar tuh.” Katanya. 
“Iya terus? Gak ada hubungannya sama aku.”
“Jadi cewek jangan sok jual mahal!” katanya lagi. 

Entah kenapa, dia bagai mengaum seperti singa saja, memakan yang tidak bersalah. Kenapa dia? Aku baru mengenalnya, pun dengan dia. Perkataannya seakan-akan ingin mengajak bermusuhan layaknya remaja-remaja jaman sekarang. 
“Kamu tau apa? Ikut campur urusan orang! Hidup sendiri diurus, Mba!!” balasku. Emosi sudah sampai puncak, dari kemarin yang ia tanyakan cuma itu.
“Perasaan tuh diungkapin, jangan dipendam kayak gini!” katanya lagi. 
“Urusannya sama kamu apa?!” kataku. Pesan terakhirku masih belum terkirim, dia nonaktif. 

Aku lebih mengabaikannya, bagiku siapa perempuan ini adalah tidak penting. Tetapi, tentang mereka yang sering chat, aku sedikit merasa iri. 
Mungkin Nadhia lah yang dapat membuatnya merasa nyaman saat chat, kataku dalam hati. 

Malam itu, dia mengirim pesan, isinya, 
“Dari mana kenal Nadhia, Fi?” tanyanya. 
“Cuma menambahkan pinnya, dia yang chat lebih dulu. Aku salah?” kataku. 
“Gak fia, gak. Kan aku cuma nanya.”
“Kenapa laki-laki gak pernah ngehargain perempuan? Kenapa sih, Di? 
“Gak, Fii, aku ngerhargain kamu kok. “
“Kenapa seolah-olah perasaan perempuan cuma untuk dimainkan, Dii? Kenapa? “
“Aku sayang sama kamu, Fia. Menurut kamu gitu, aku gak gitu, kan?”
Aku terdiam menatap layar handphoneku, meski aku sedang berada di roomchat nya, aku masih mendiamkan handphoneku, tanpa kuketikkan satu huruf pun, karena masih tidak ada niat untuk membalas pesan itu. Aku bingung. Aku cuma bisa membalas pesannya,  ‘Aku juga, sangat sayang padamu, Di.’ Dalam hati. 

“Fia? “
Satu pesan lagi masuk. 
“Sama denganku, Di.” Balasku kemudian. 
“Sama apa, Fi?”
“Juga masih sangat menyayangimu.”
Pesan itu masih ia baca, tapi satu menit berlalu tanpa ada tanda-tanda bahwa akan ada balasannya. Kemudian, 
“Aku tidur ya, Di. Lanjut besok. “

***

Hari makin berlalu, sejak hari raya idul fitri, hari minggu yang lalu, dan sekarang adalah hari sabtu, mungkin terhitung sudah 6 hari, komunikasi kami jalan, masih dengan dirinya yang dulu, sosok yang terus membuatku terjatuh untuk menyambut cinta. Dia. Perpisahan yang begitu ku benci beberapa bulan yang sudah pergi dari pikiranku, itu mengganggu. Kehadirannya kembali sudah lebih dari cukup, aku tidak butuhkan yang lain. Setidaknya masih ada rasa yang utuh seperti dulu. Memang itulah yang terpenting. 

Dibalik kebahagiaanku, ada Nadhia. Nadhia yang kadang seperti marah padaku, dan masih saja mencari-cari topik pembahasan, pembahasan itu tidak lepas dari nama seseorang itu. Sering terkesan memaksa.  Sangat tidak mungkin bagiku untuk mengungkapkan sesuatu yang tidak seharusnya kubagi ke semua orang, pada orang yang baru saja kukenal, dan aku tidak tahu tepatnya seperti apa orang itu. 
“Kenapa selalu memaksaku tentang hal itu?” kataku pada Nadhia. 
“Kamu kenapa juga gak mau jujur?”
“Pentingnya apa? Cuma teman, buat apa ada perasaan yang lebih dari sekedar teman?” kataku. Iya, ini bohong, dia bukan teman, dia pernah menguasai cintaku selama beberapa tahun.
“Kamu gak berpikir buat balas perasaan dia?”
“Emangnya perasaannya padaku apa?”
“Ya kamu sih gak tahu apa-apa!” katanya. 
“Ya terserah aku.” 
“Halah!!” balasnya lagi. 
Aku marah, dan memilih untuk tidak membalas pesannya lagi. Dia terlalu mencampuri hidup orang lain. Jarang sekali ya ada manusia yang tidak mencampuri urusan orang lain? Mengabaikan hidupnya yang tidak ia urus, dan lebih memilih untuk mengurus hidup orang lain. 

Setelah itu, juga dengan sibuknya aku membalas pesan satu orang lain yang sudah selama 6 hari ini kembali padaku,
“Di, “
“Apa?”
“Kamu gak sayang sama aku, kan?”
“Hah? Maksudnya?”
“Aku tahu kamu memang gak sayang aku, Di.”
“Eh, Fi, masih chat sama Nadhia?”
“Apa sih! Urusin tuh si Nadhia! Kamu cocok pacaran sama dia,”
“Gak, buat apa sama dia kalau ada kamu?”
“Lebih baik Nadhia,”
“Ya, sudah, “

Aku kesal hari itu juga, memang benar kata orang, yang pernah pergi meski kembali lagi pasti rasanya tidak akan pernah sama lagi, benar begitu? Aku sudah merasakannya. Kami pernah satu, kemudian terpecah, sama-sama melangkah pergi dengan membawa rasa benci, lalu dia datang kembali, langkahnya kembali ke tempat yang sama. Tempat dimana namanya sangat di istimewakan; hatiku. 

Aku memblokir akunnya. Iya aku memang bodoh. Untuk apa? Rasanya memang tidak pantas lagi diperjuangkan. Bagiku Nadhia lah yang menghancurkannya, dia penyebabnya. 
Sama dengan Nadhia, akunnya ku blokir. 

Tidak lama setelah itu, dua pesan masuk darinya, ke akun medsosku yang lain, 
“Kenapa di blokir, Fia?”
“Buka,” katanya. 
“Kamu gak sayang aku kan, Di?”
“Kamu selalu nanya ginian, kamu juga gak sayang?”
Aku diam sebentar, kemudian aku memilih untuk tidak membalasnya. Sudah, lah. 
Sampai esok hari, rasanya terlalu berat melepasnya lagi, kehilangannya lagi, dan untuk membencinya lagi, aku tidak ingin melakukannya sama seperti hari itu. Aku percaya, cintaku terlalu kuat untuk dihancurkan oleh rasa benci. 

Aku memblokir Nadhia, pun dengan akun yang ku blokir yang satunya. 
Aku kaget, melihat akun Nadhia mengganti namanya menjadi nama yang membuat aku langsung mengenalinya, nama yang dulu pernah sangat istimewa bagiku bahkan sampai sekarang. Apa yang terjadi? Kenapa tiba-tiba? 
Aku tidak lagi berkutik. Mempermasalahkan masalah yang nantinya hanya akan membuat rasa sakit yang dulu kembali muncul. Tidak. Aku ingin mengakhirinya baik-baik, setidaknya aku percaya, dia masih menyayangiku sama seperti diriku. 
Aku cuma mengamati diam-diam, ada apa dengan aku itu sebenarnya. 

Sama dengan foto profil, yang beberapa hari kemarin adalah foto perempuan, sekarang diganti dengan fotonya. 
Aku mencari nama Nadhia di akun instagram. Aku mendapatkannya. Memang benar mungkin, yang kudapatkan adalah Nadhia, aku tahu dari nama sekolah yang tertera di bionya. Tetapi, yang membuatku bingung adalah, wajah Nadhia berbeda sama sekali dengan foto yang ia jadikan foto profilnya selama beberapa hari yang lalu. Aku yakin ini Nadhia, lalu siapa Nadhia yang sebelumnya?

Aku penasaran, dan akhirnya, aku mengirim pesan pada Nadhia di instagram. 
Aku menunjukkan pinnya yang pernah aku dapatkan, beserta dengan fotonya, “Nadh, ini aku kamu, ya?”
“Eh? Bukan? Aku gak punya akun BBM.” Balasnya
“Masa sih?”
“Iya,”

Dan saat itu juga aku sadar, Nadhia yang hari itu mengajakku kenalan, menanyakan hal pribadi, perasaan, hingga memaksaku untuk jujur, dia bukanlah Nadhia sesungguhnya. Dia adalah orang yang sama dengan seseorang yang juga sering mengirim pesan padaku. Sama! Mereka sama! Cuma akun yang berbeda. 
Aku kecewa, sangat kecewa, semua sudah berakhir. Demi apa hal bodoh itu dia lakukan. 
Aku langsung memberitahukan Nadhia. 
“Kamu kenal dia, kan?” kataku sekaligus mengirim fotonya. 
“Iya, dia teman dekatku,” katanya. 
“Em.. dia membuat akun BBM menggunakan namamu, Nadh,”
“Hah? Benarkah?”
“Iya, tanyakan saja padanya.”

Setelah itu entah apa yang kupikirkan, aku kembali memblokir akunnya lagi. Aku kecewa, dengan hari-hari yang sudah berlalu itu. 
Beberapa menit kemudian, nyatanya dia masih bisa mengirim pesan padaku melalui akunku yang lain. 
“Fi, aku gak nyangka.”
“Apa lagi, Di?”
“Gak nyangka beneran. Aku sengaja membuat akun samaran menggunakan nama Nadhia untuk mencoba kejujuranmu, Fi. Aku ingin tahu seberapa besar rasa sayangmu, aku cuma ingin tahu apa kamu benar-benar sayang sama aku. Tapi jadinya kenapa gini, Fia?”
Aku kesal membaca pesan itu, “Ya ampun, Di, sudah berapa kali aku ngungkapinnya, sudah berapa kali aku bilang, aku sayang kamu, Di, kenapa masih aja mau ngebuktiin bahkan dengan cara bodoh kayak gitu? Pikir aja, Di, aku baru mengenal Nadhia, bahkan Cuma kenal namanya, apa aku harus langsung jujur soal perasaanku sama kamu? Buat apa menyatakannya ke orang yang baru dikenal, Di? Masih kurang ya aku yang sering nyatain ke kamu itu? Masih kurang? “ kataku.
“Aku gak habis pikir, Fi.”

Aku membiarkan pesannya tanpa balasan dariku. Terlalu sulit menjelaskannya lagi. Entah menjelaskannya yang sulit, atau dia lah yang sulit untuk memahaminya. 
Satu pesan lagi darinya, 

“Fi! Kamu chat Nadhia yang asli? Kamu beritahukan ke dia soal semua ini? Tega kamu?!”

Aku diam, aku ingin marah, sekaligus menyiapkan diri untuk luka baru yang akan datang, entah itu berapa menit lagi. Terlalu sakit. Semua hancur, hanya karena pembuktian bodohnya yang ia pikir akan membuat keadaan semakin baik. 

Dia memblokirku. 
Dan salah satu teman dekatnya yang aku kenal, mengirim pesan padaku. 
“Kamu ngapain sih beritahu ke Nadhia?”
“Dia marah tuh! Karena kamu, terus dia dimarahin Nadhia!” 
“Dia gak bakalan pernah maafin kamu lagi, Fi. Ingat itu!”

Tiga pesan itu diketikkan dengan rasa marah. Mungkin mereka marah, tetapi tidak denganku. 
Cuma tangisan yang hadir. Cuma itu, rasa sakit itu datang lagi. Kami kembali hancur, saling melangkah pergi dan menjauh dengan rasa benci dan marah. 

Seandainya dia percaya padaku, hingga hal bodoh itu tidak harus ia lakukan.

Juli kembali bersedih, menyaksikan perpisahan yang mungkin lebih sakit daripda sebelumnya. Ini bukan lagi sekedar perpisahan, karena perpisahan tidak mesti menghapus rasa yang sudah kuat diciptakan. Ini kehancuran, hancur dan benar-benar hancur. Hancur karena rasa percaya yang tidak ia miliki, berantakan karena hal bodoh yang ia lakukan, yaitu membuat akun samaran sebagai pembuktian perasaanku padanya. 

Hari ini, akan kutangiskan sejadi-jadinya. 

Seandainya kamu percaya padaku, Di. 









Dia;R,
7/17

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Untuk Januari dan Februari

Kepada kalian, Januari dan Februari.  Aku tahu kalian tidak mungkin dapat mendengarku apalagi menjawab dan membalas perkataanku. Aku sadar dan semesta tahu, aku sangat bodoh, berbicara dengan bulan yang ditemani oleh 30 hari bersamanya.  Untuk Januari dan Februari.  Terima kasih untuk waktu berharga saat itu. Kala itulah, Tuhan mulai mengubah hidupku. Segala tentang sedih dan kawan-kawannya(tangis), tangis beserta sahabatnya(luka), dan rasa sakit bersama temannya(kecewa), digantikan dengan senyum, tawa dan rasa bahagia.  Kujalani dan lewati hari demi hari yang sangat berharga dan tak ternilai itu, dengan rasa yang baru saja lahir kemudian terus tumbuh dan berkembang secara pesat dan deras dengan sangat baik. Tidak tahu kenapa peta di hatiku menunjukkan bahwa arah yang benar untuk ku tuju adalah lelaki itu. "Dia". Sebab itulah aku mengikutinya, dan terus berjalan menuju kebahagiaan bersama rombongan cinta dalam makna "perasaan". Untuk Januari,...

PRASANGKA

Untuk kesekian kalinya, kamu merancangnya seperti ini lagi, semesta. Untuk kesekian kalinya, kepulangan jadi prolog, bahagia menghiasi. Perpisahan menjadi epilog, rasa sakit menghiasi. Harus, ya? Ada perpisahan lagi? Ada apa? Boleh tidak aku egois? Untuk kali ini saja, aku ingin menyingkirkan perpisahan, aku ingin bebas dari kehilangan yang begitu menakutkan. Bukan tentang menakutkannya, tapi tentang sosok yang begitu disayang. Siapa sudi kalau dia hilang? Boleh tidak aku mengambil keputusan sendiri? Aku ingin membuat cerita sendiri, mengukir berbagai macam kebahagiaan sendiri, berdua dengannya maksudku. Kamu memang selalu mencampurinya, semesta. Tapi, untuk kali ini saja, boleh tidak aku egois? Egois demi hubungan kami, demi perasaan kami, demi, menghindari perpisahan. Untuk kali ini saja, boleh tidak aku mendekapnya lebih lama, atau mungkin selamanya? Boleh tidak aku... tetap menahannya pergi dariku, boleh tidak aku memaksanya untuk tetap tinggal? Boleh, ya? ...

Senja Tanpa Langit

Langit, aku sedang menggerakkan pulpen tinta ini menggunakan tanganku, menuliskan kata per kata, kalimat demi kalimat, hingga tersusun menjadi paragraf yang tak cuma satu, dan terkumpul dalam satu buku. Buku rahasia milikku. Ini tentang dirimu, Langit. Senja, *** “Lagi ngapain sih, Langit?” tanyaku pada sosok yang berdiri tidak jauh di depanku sekarang. “Lagi mandangin senja. Lihat deh, Ja. Bagus banget.” Serunya namun agak santai. “Senja yang di langit itu, atau seorang Senja yang berada di belakangmu sekarang?” tanyaku lagi, kemudian langit membalikkan badannya mengarah padaku. “Hmm..senja yang mana, ya?” tanya Langit pada dirinya sendiri sembari menyengir. Langit yang terkenal sangat puitis ini selalu saja mengalahkanku dengan ucapan-ucapannya yang sering kali terdengar sederhana dan biasa, tetapi mampu membuat orang yang berbicara dengannya jatuh hati. Kemudian Langit tersenyum. Kini kami seperti bicara lewat jalur hati. Tanpa ada kalimat terucap, dengan bibir yang...