Langsung ke konten utama

Yang Berharap Menjadi Rumah


Rombongan rangkaian memori pada masa-masa itu datang
Silih berganti
Rangkaian membentuk suatu kenangan
Yang sudah lama terbentuk
Namun pernah dilebur dalam-dalam dan kembali bermunculan
Kembali, mereka kembali

Para kenangan yang tak letih minta untuk diulang
Tepatnya, sakit di hati lah yang memaksa
Rasa sayanglah yang meminta
Menginginkan dan akan selalu mengharapkan
Tokoh utama dalam cerita lama yang selalu dikenang itu, datang
Kembali dan pulang
Pulang pada rumah yang sudah lama ia tinggalkan berlama-lama
Mengacaukan rumahnya
Meruntuhkan setiap pertahanannya
Mengoyak dindingnya
Hingga tempat itu tak layak lagi disebut rumah
Hanya kepingan tempat tua yang akan segera meluap dan hancur

Namun, tak ada yang tahu
Entah apa itu namanya
Ia masih berharap bisa menjadi rumah bagi tokoh utamanya
Akan selalu menjadi rumah setia
Menaungi
Melindungi
Tempar pulang dan tinggal
Akan selalu tinggal

Rumah yang berharap ia bisa menjadi yang terbaik untuk tokoh itu
Menjadi yang paling berkilau
Segalanya untuknya
Membuat tokoh itu nyaman berumah padanya

Iya, rumah biasa yang sudah lapuk dimakan perpisahan dan penderitaan
Terlalu bodoh berhayal tinggi
Berilusi sang tokoh utama masih setia di sana
Tinggal, jikalau pun pergi pasti akan pulang

Iya, tak pernah habisnya menumbuh harap, harap dan harap
Jatuh sendiri, hancur sendiri, roboh sendiri
Semua, sendirian
Rumah tak berteman
Tak berpenghuni
Rumah yang malang dan kesepian
Pantaskah ia untuk tokoh utama?
Sosok berkilau dengan segala kelebihannya
Kesempurnaannya
Pantaskah tokoh utama yang begitu bersinar itu berdiam dan tinggal di rumah biasa?

Kenapa rumah itu tak pernah sadar diri
Mencaci, membenci diri sendiri
Tapi tak pernah mau menyadari
Tak mau mengakui
Bahwa ia, memang rumah yang tak akan pernah pantas untuh sesosok langit biru bersama senja yang terlihat dalam dirinya.
Seperti langit yang tak perlu naungan lagi
Seperti senja yang hanya membutuhkan langit

Rumah itu? Ia siapa? Untuk apa?
Ia hanya pintasan bayangan dengan berjuta harapan dan impian menjulang tinggi
Berusaha menggapai sosok setinggi langit yang tak akan pernah mampu ia dapatkan

Untuk apa semuanya?

Tokoh utama tak selamanya salah
Semua karena rumah tak sempurna yang berharap bisa menjadi segalanya untuk tokoh utama yang dulu pernah tinggal bersamanya.

Rumah juga tak selamanya salah
Karena ia tak pernah minta rangkaian kenangan yang sudah ia usir berani muncul kembali
Menangkas pertahanannya selama ini
Semuanya datang entah kenapa dan darimana
Memori dalam rumah itu tak sebenarnya kosong
Penuh, tapi akan selalu muat untuk menampung segala tentang tokoh utama yang telah pergi itu
Tentu, karena ia ingin selalu menjadi tempat berpulang,
Dan pastinya, tempat berumah dan tinggal bersama segala perasaan yang dititipkan

Malang, tapi ia sadar
Andai di minta melawan badai
Tentu saja bangunannya rubuh
Apalagi
Seberkas kenangan beserta kepingan-kepingan memori yang telah bersatu kuat
Kembali
Bukan tokoh utama yang pulang
Bukan sosok itu yang kembali
Tapi bayangan
Bayangan kenangan yang menembus

Untuk itu, ia hanya bisa terima
Terima dan pasrah
Memang nasibnya untuk segala kerinduan yang menyerangnya

Bersama kesedihan, luka dan segala rasa sakit
Juga berjuta-juta rindu miliknya
Ia simpan, ia kumpulkan, ia kubur
Segalanya, yang penting ia ingin pergi

Ia pikir, jangan sebut lagi rumah
Jangan sebut lagi apapun yang akan menjadi tempat berteduh, bertinggal, dan segala tentang berumah padanya

Ia hanya membutuhkan tokoh utama
Penghuni yang selalu ia tunggu

Sekarang, ia ingin lenyap

Lenyap, dan jangan bertanya di mana ia sekarang
Biarkan semesta menyembunyikannya
Entah dengan apa caranya
Semua, terserah semesta.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Senja Tanpa Langit

Langit, aku sedang menggerakkan pulpen tinta ini menggunakan tanganku, menuliskan kata per kata, kalimat demi kalimat, hingga tersusun menjadi paragraf yang tak cuma satu, dan terkumpul dalam satu buku. Buku rahasia milikku. Ini tentang dirimu, Langit. Senja, *** “Lagi ngapain sih, Langit?” tanyaku pada sosok yang berdiri tidak jauh di depanku sekarang. “Lagi mandangin senja. Lihat deh, Ja. Bagus banget.” Serunya namun agak santai. “Senja yang di langit itu, atau seorang Senja yang berada di belakangmu sekarang?” tanyaku lagi, kemudian langit membalikkan badannya mengarah padaku. “Hmm..senja yang mana, ya?” tanya Langit pada dirinya sendiri sembari menyengir. Langit yang terkenal sangat puitis ini selalu saja mengalahkanku dengan ucapan-ucapannya yang sering kali terdengar sederhana dan biasa, tetapi mampu membuat orang yang berbicara dengannya jatuh hati. Kemudian Langit tersenyum. Kini kami seperti bicara lewat jalur hati. Tanpa ada kalimat terucap, dengan bibir yang...

Aku

Iya, aku di sini. Tapi kurasa kamu memang tidak akan bisa menemukan diriku yang dulu lagi. Iya, aku adalah aku. Yang menyayangimu. Tapi kurasa, aku bukan lagi aku yang dulu. Kamu tidak akan bisa menemukan sosok itu. Sosok aku seperti satu tahun yang lalu. Maaf, tapi jangan khawatir, karena aku akan selalu menjadi orang yang sangat menyayangimu. Hanya saja, kamu telah kehilanganku. Kehilangan segala tentang aku yang dulu. Aku yang dulu dengan beraninya mendekatimu, Aku yang dulunya punya rasa percaya diri yang sangat besar untuk menyatakan semuanya padamu, Yang dulunya tak pernah segan mengejarmu, Yang dulunya, selalu memberimu senyum, memberimu rasa, memberimu bahagia, dan segalanya. Sekarang, yang bisa aku beri cuma rasa sayang. Rasa sayang yang tersimpan, tersembunyi, terselubung dalam ruang yang masih setia kujaga, ruang hati. Ruang hati yang dulunya pernah aku buka untukmu sepenuhnya. Kamu mengenalku, iya. Kamu memahamiku, iya. Kamu menyayangiku, aku tahu ...

Pelukan yang Kembali

Senyum tiada bosannya bersembunyi, bersembunyi dengan waktu yang tak singkat di balik kesedihan, di balik penantian panjang yang sudah lama masih menjadi tema dalam kesendirianku. Murung menanti Raga. Sosok yang sudah lama aku rindukan. Sosok yang mengubah hidupku lebih bewarna. Raga lah yang membuat hidupku menjadi lebih berarti hingga aku berani percaya diri dan telah mengenal diriku sendiri. Tidak ada cukup kata dan kalimat  dirangkaikan untuknya, tidak cukup selembar tulisan puisi untuk menjelaskan siapa dirinya.  Aku hanya bisa menunggu dan terus menunggu dengan perasaan cinta yang begitu dalam untuknya, untuk Raga. Dan saat ini, rangkaian kalimat tentang penantian dan kerinduan itu tak lagi berlaku. Telah berakhir sampai disana, ketika akhirnya sosok Raga yang sangat kurindukan itu kembali padaku. Diary hari ini, Rindu, *** kembali ke rekaman masa lalu 6 tahun yang lalu sebelum hari ini.  “Sekarang waktunya kita istirahat.” Kata ibu mata pelajaran ...