Langsung ke konten utama

PRASANGKA




Untuk kesekian kalinya, kamu merancangnya seperti ini lagi, semesta.
Untuk kesekian kalinya, kepulangan jadi prolog, bahagia menghiasi. Perpisahan menjadi epilog, rasa sakit menghiasi.

Harus, ya? Ada perpisahan lagi?

Ada apa?

Boleh tidak aku egois? Untuk kali ini saja, aku ingin menyingkirkan perpisahan, aku ingin bebas dari kehilangan yang begitu menakutkan. Bukan tentang menakutkannya, tapi tentang sosok yang begitu disayang. Siapa sudi kalau dia hilang?

Boleh tidak aku mengambil keputusan sendiri? Aku ingin membuat cerita sendiri, mengukir berbagai macam kebahagiaan sendiri, berdua dengannya maksudku.

Kamu memang selalu mencampurinya, semesta.

Tapi, untuk kali ini saja, boleh tidak aku egois? Egois demi hubungan kami, demi perasaan kami, demi, menghindari perpisahan.

Untuk kali ini saja, boleh tidak aku mendekapnya lebih lama, atau mungkin selamanya?

Boleh tidak aku... tetap menahannya pergi dariku, boleh tidak aku memaksanya untuk tetap tinggal?

Boleh, ya?

Bukan karena aku tak terima arti menunggu, arti rindu, dan penantian. Bukan itu. Cuma, ada perasaan yang tak melulu harus disakiti dan dikorbankan. Tak harus cerita kami yang harus dijadikan santapan perpisahan.

Bukan karena aku bosan menunggu, lelah berjuang. Bukan itu. Aku ingin bersamanya, semesta. Apa tidak bisa ya membiarkannya tetap bersamaku.

Hingga detik ini, aku hampir membenci perpisahan.

Yang namanya perpisahan.

Aku membencinya.

Aku lelah harus saling menjauh lagi. Aku lelah harus pura-pura bahagia lagi. Aku lelah harus bersikap seolah tidak peduli.
Aku lelah dipenuhi prasangka buruk.

Aku lelah, harus membiarkan hidupku sendiri seperi sedang bermimpi buruk, paling buruk.

Aku lelah, harus menerima kenyataan bahwa kehilangannya adalah nyata.

Aku lelah, harus berjuang mengikhlaskan.

Hingga berujung pada tangisan yang malah memintanya pulang.

Aku lelah, semesta.

Jadi, ceritanya begini.

Aku diperangkap oleh perasaan yang tak tahu asalnya dari mana, ditempatkan pada perasaan baru yang tak pernah terduga, dijebak oleh perasaan sayang dan cinta.

Dan, diperangkap oleh cerita yang perpisahan selalu menjadi ujungnya.

Aku harus menerimanya, kemudian kehilangannya. Aku harus menerima kepulangannya, dan kemudian kehilangannya. Aku harus menunggunya kembali, kemudian ia kembali, kemudian kami bersama, kemudian, kehilangannya lagi.

Hingga untuk yang kesekian kalinya.
Perpisahan tak selalu tentang tangisan.
Kehilangan tak selalu tentang rasa sakit.
Akhirnya, yang utuh menjadi hancur oleh berbagai prasangka.

Rubuh, menghapus jejak kenangan dari cerita-cerita yang pernah dirangkai.

Kemudian, aku dan dia saling berprasangka,

Prasangka yang begitu diperdalam sampai dibenarkan.

Walaupun sebenarnya, hati menolak sempurna prasangka itu menjadi kenyataan.

"Jadi, dia sudah punya yang baru?"

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Senja Tanpa Langit

Langit, aku sedang menggerakkan pulpen tinta ini menggunakan tanganku, menuliskan kata per kata, kalimat demi kalimat, hingga tersusun menjadi paragraf yang tak cuma satu, dan terkumpul dalam satu buku. Buku rahasia milikku. Ini tentang dirimu, Langit. Senja, *** “Lagi ngapain sih, Langit?” tanyaku pada sosok yang berdiri tidak jauh di depanku sekarang. “Lagi mandangin senja. Lihat deh, Ja. Bagus banget.” Serunya namun agak santai. “Senja yang di langit itu, atau seorang Senja yang berada di belakangmu sekarang?” tanyaku lagi, kemudian langit membalikkan badannya mengarah padaku. “Hmm..senja yang mana, ya?” tanya Langit pada dirinya sendiri sembari menyengir. Langit yang terkenal sangat puitis ini selalu saja mengalahkanku dengan ucapan-ucapannya yang sering kali terdengar sederhana dan biasa, tetapi mampu membuat orang yang berbicara dengannya jatuh hati. Kemudian Langit tersenyum. Kini kami seperti bicara lewat jalur hati. Tanpa ada kalimat terucap, dengan bibir yang...

Aku

Iya, aku di sini. Tapi kurasa kamu memang tidak akan bisa menemukan diriku yang dulu lagi. Iya, aku adalah aku. Yang menyayangimu. Tapi kurasa, aku bukan lagi aku yang dulu. Kamu tidak akan bisa menemukan sosok itu. Sosok aku seperti satu tahun yang lalu. Maaf, tapi jangan khawatir, karena aku akan selalu menjadi orang yang sangat menyayangimu. Hanya saja, kamu telah kehilanganku. Kehilangan segala tentang aku yang dulu. Aku yang dulu dengan beraninya mendekatimu, Aku yang dulunya punya rasa percaya diri yang sangat besar untuk menyatakan semuanya padamu, Yang dulunya tak pernah segan mengejarmu, Yang dulunya, selalu memberimu senyum, memberimu rasa, memberimu bahagia, dan segalanya. Sekarang, yang bisa aku beri cuma rasa sayang. Rasa sayang yang tersimpan, tersembunyi, terselubung dalam ruang yang masih setia kujaga, ruang hati. Ruang hati yang dulunya pernah aku buka untukmu sepenuhnya. Kamu mengenalku, iya. Kamu memahamiku, iya. Kamu menyayangiku, aku tahu ...

Pelukan yang Kembali

Senyum tiada bosannya bersembunyi, bersembunyi dengan waktu yang tak singkat di balik kesedihan, di balik penantian panjang yang sudah lama masih menjadi tema dalam kesendirianku. Murung menanti Raga. Sosok yang sudah lama aku rindukan. Sosok yang mengubah hidupku lebih bewarna. Raga lah yang membuat hidupku menjadi lebih berarti hingga aku berani percaya diri dan telah mengenal diriku sendiri. Tidak ada cukup kata dan kalimat  dirangkaikan untuknya, tidak cukup selembar tulisan puisi untuk menjelaskan siapa dirinya.  Aku hanya bisa menunggu dan terus menunggu dengan perasaan cinta yang begitu dalam untuknya, untuk Raga. Dan saat ini, rangkaian kalimat tentang penantian dan kerinduan itu tak lagi berlaku. Telah berakhir sampai disana, ketika akhirnya sosok Raga yang sangat kurindukan itu kembali padaku. Diary hari ini, Rindu, *** kembali ke rekaman masa lalu 6 tahun yang lalu sebelum hari ini.  “Sekarang waktunya kita istirahat.” Kata ibu mata pelajaran ...